Quo Vadis HMI Setelah 60 Tahun
Oleh: MH Sholihin[1]
HMI dalam sejarah Bangsa Indonesia tercatat sebagai organisasi kader yang mengerakan pemuda untuk berperan aktif dalam mengemban nilai-nilai dasar perjuangan untuk bangsa dan agama yang dirumuskan dalam konstitusi HMI, dimana maenstream nilai-nilai itu diterjemahkan dari ide-ide Lafran Pane yang merupakan sebagai arsitek berdirinya bangunan HMI. Kader-kader HMI tidak saja tercatat sebagai Event Guard untuk melakukan proses pengisian dan menjaga kemerdekaan bangsa ini, tetapi juga memerankan Wacth Dog bagi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Walaupun pada rezim orde baru HMI pernah dibungkam dengan mempreteli asas organisasi HMI yang dipaksakan oleh rezim Soeharto. Namun HMI tetap eksis walaupun terseok-seok ditengah anomaly yang terjadi dalam tubuh HMI.
Secara teoritis seorang manusia akan sulit lepas dari sejarahnya, sehingga sejarah dan masa lalunya akan selalu berbekas dalam jiwa dan pada akhirnya akan membentuk sebuah sikap dan prilaku. Kalau kita hubungkan dengan konteks ke-HMI an, seharusnya HMI akan selalu mendefenisikan dirinya sebagai organisasi yang memegang nilai-nilai yang diwariskan oleh Lafran Pane lewat proses internalisasi pengkaderan. Namun ironis memang ketika Kader-Kader HMI yang saat ini terjebak pada sebuah kegelisahan yang tiada ujung, kegelisahan akan arah pengkaderan, kegelisahan akan arah perjuangan. Kegelisahan-kegelisahan ini pada gholibnya mendorong terjadinya anomaly dalam arah dan perjalanan HMI kedepan.
Amonaly ini terjadi Seiring perkembangan dan kompleksitas zaman, HMI dipaksa secara struktural dan cultural untuk mengadopsi nilai-nilai yang sedikit menyimpang. Penyimpangan ini didorong oleh Preference kader untuk mencerna nilai-nilai dasar perjuangan HMI dan mencitrakannya kedalam bentuk kecenderungan prilaku-prilaku pragmatis.
Sebagai sebuah organisasi kader HMI dalam menyosong dan menjalani kehidupan, cenderung dihadapkan pada pilihan-pilihan yang dilematis, pilihan dilematis ini aktualnya termanifestasi dalam bentuk pilihan memilih untuk berjalan di atas nilai-nilai intelektual organik atau mengikuti pola operasional organisasi lain yang pada umumnya terjebak dalam sangkar besi politik praktis.
Kalau kita amati secara radikal realitas yang terjadi di HMI saat ini tidak jauh berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang terjebak dalam sangkar besi politik praktis dan cenderung mengesampingkan Crusial Point penguatan basis intelektual yang berujung pada intelektual organik. Kita cukup bergidik memperhatikan HMI yang bergelimang dalam Lumpur-lumpur politik praktis dan tidak lagi peduli dengan gerakan Intelektual yang mampu membangun Bangsa dengan ide-Ide Nya. Sebab tidak kita sangsikan bahwa untuk menjaga kemurnian dan demokrasi sebuah negara serta untuk mempreteli kekuatan-kekuatan destruktif yang bersembunyi dibalik jubah kekuasaan, hanya kaum-kaum intelegensia yang steril dari senyawa-senyawa kepentingan praktis. Sebutlah Ahmad Wahib, Lafran Pane dan Soe Hok Gie sebagai tokoh-tokoh yang mewakili kaum intelegensia ini.
Anas Urbaningrum menawarkan konsep untuk perjalanan HMI setelah 60 tahun ini Dengan “ HMI harus mampu mendamaikan antara kekuatan akademis-intelektual dengan politik praktis� (Republika, 07/02/2007). Kalau kita kaji lebih jeli antara kaum intelegensia dengan kaum politikus, mereka adalah dua mahluk yang hidup di dunia yang berbeda. Perbedaan ini terjadi karena nilai-nilai yang menjiwai nafas kehidupan kedua golongan ini. Kuam Intelengensia lebih menjiwai nilai-nilai yang tidak pragmatis, sedangkan kaum politikus lebih cenderung memegang nilai-nilai prgamatisme. Perbedaan ini hakikatnya akan melahirkan dunia dan suasana yang berbeda. Sehingga dalam prakteknya kedua kaum ini akan terus berhadap-hadapan dan saling membongkar.
Pada usia ke-60 tahun ini HMI jangan lantas mendamaikan gerakan akademik-intelektual dan politik praktis, jika ini terjadi maka tunggulah kematian dari nilai-nilai dasar dari HMI itu sendiri. Karena politik praktis selalu digerakkan oleh pengabdian dan mentuhankan kekuasaan, dibandingkan mengkrusialkan perubahan social. Selayaknya dengan umur HMI yang telah mencapai angka 60-an, HMI terus berkibar dan melangkah di atas nilai-nilai dasar perjuangan yang berbasiskan pengembangkan gen-gen intelektual organik.
Demitologisasi nilai-nilai pragmatis HMI
Ada proses Transformasi ide-ide yang menyerang pikiran kader-kader HMI, saat ini. Transformasi ide-ide ini cenderung membentuk konsepsi-konsepsi yang mengsakralkan politik praktis, sehingga antara kader HMI dengan politikus-politikus cenderung membangun pola hubungan simbiosis mutualistik.
Untuk Membentengi HMI dari proses pembusukan arah perjuangan yang terbentuk dari pelembagaan politik praktis, perlu ada proses demitologisasi nilai-nilai pragmatis HMI. Karena politik praktis cenderung dijadikan mitos-mitos yang membangun konsepsi prilaku kader “bahwa HMI tidak akan mampu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara serta mengkokohkan agama tanpa menjadikan lembaga politik sebagai sebuah ritual�, proses ini telah menghanyutkan kader-kader HMI dengan rutinitas yang sama sekali berlainan dengan jiwanya.
Crusial Point Pengkaderan Berbasis Intelektual Organik
Eksisnya sebuah organisasi kader tergantung pada pola pengkaderan yang dilakukan dalam menginternalisasikan nilai-nilai universal kedalam diri kader. Jika pola pengkaderan hanya Mengedepankan Output bukan proses pengkaderan, maka barang tentu organisasi ini akan diserang oleh kekakuan dan kebukuan pikiran. Dan pada akhirnya tidak akan muncul kesadaran akan pentingnya sebuah nilai-nilai humanitas dari perjuangan.
Pola pengkaderan yang selama ini dijalankan oleh HMI, cenderunng terjebak pada tradisi yang Rigid dan sembari menutup mata dari Anomaly-Anomaly yang diderita oleh kader-kader Pasca Latihan kader. Anomaly ini terjadi disebabkan ketidak matangan proses transformasi nilai-nilai perjuangan yang berbasiskan humanitas kedalam jiwa-jiwa kader HMI.
Humanitas hanya akan kita temukan pada prilaku dan nilai-nilai yang melandasi prilaku intelektual organik. Intelektual organiklah yang pada gholibnya mampu mempertahan idealisme kemanusian dari sengatan pragmatisme kehidupan. Karena itu sebagai organisasi kader HMI harus mau membongkar tradisi pengkaderan yang rigid dan harus inklusive terhadap Crusial Point pengkaderan berbasis intelektual organik.
Kedua konsepsi ini aktualnya merupakan Quo Vadis yang harus dipertimbangkan oleh HMI dalam mengisi usia ke-60 tahunnya. Sebab HMI tidak akan lagi dilirik kalau terlalu eklusive dan tidak mau membokar nilai-nilai pragmatisme dan pola pengkaderan yang rigid.
[1] Penulis adalah Pemerhati HMI
teroueskan membina tabijah islamijah ini sesoai dengan peladjaran yang koe berikan(syekh sulaiman ar-rasully)
Tuesday, February 13, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment