teroueskan membina tabijah islamijah ini sesoai dengan peladjaran yang koe berikan(syekh sulaiman ar-rasully)

Saturday, November 17, 2007

ALIRAN SESAT: ANTARA PENYIMPANGAN DAN PROTES

ALIRAN SESAT: ANTARA PENYIMPANGAN DAN PROTES

Oleh: Muhammad Sholihin

Akhir-akhir ini, ruang publik digeliatkan oleh aliran-aliran baru yang cenderung menyimpang dari aliran mainstream yang telah mendapat legitimasi politis. Tak jarang aliran baru ini pun dihantam beramai-ramai, dan semuanya dengan begitu cepat berakhir dengan penjara. Kini umat sedang dikondisikan oleh sebuah sikap-sikap mutlak-mutlakan tanpa memberi peluang sedikit pun melihat secara komfrehensif persoalan yang terjadi. kenapa aliran ini muncul?

Kronik munculnya aliran agama baru dewasa ini, mengingatkan kita pada peristiwa yang sama dan terjadi beberapa abad lampau, ketika Siti Jenar dan al-Hallaj mengegerkan ruang publik dengan lisannya yang nyeleneh—mengaku dirinya sebagai Tuhan atau pun mengatakan para wali adalah bangkai-bangkai yang berjalan. Walhasil, Jenar pun dihukum beramai-ramai. Dengan legitimasi fatwa sesat dari Wali Songo, massa pun digiring untuk menghukumi Jenar dan semua kronik tentang Jenar pun berakhir ditiang gantungan. Tapi image “sesat” bagi Jenar tidak lantas berakhir dan masih terus terhujam disanubari umat. Makanya tidaklah heran ketika muncul aliran-aliran baru, sejenis al-Qiyadah Islamiyah atau pun Jama’ah Islamiyah yang di pimpin oleh Karim Jamak, termasuk aliran Lia Eden--umat pun melemparkan hukuman “sesat” dan dilegitimasi oleh MUI dengan fatwa “sesat”. Jika kita mau membuka mata, sebenarnya mengeliatnya aliran-aliran baru akhir-akhir ini tidak sebatas persoalan Aqidah, tapi berkelidan dengan permasalahan sosial.

Perilaku manusia tidak pernah sunyi dari makna dan manusia akan selalu mencoba mengobjektifikasikan (merasionalisasikan) agama sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kepentingannnya. Max Weber pernah menegaskan dengan lugas bahwa “Semua orang telah berusaha menginterpretasikan hubungan antara etika keagamaan dengan keinginan terhadap situasi dalam cara yang membuat para pendahulu hanya menjadi “fungsi” bagi yang datang belakangan”. Kecenderungan manusia yang menyakini akan sebuah institusi agama, pada dasarnya tidak akan pernah berhenti pada satu titik, tapi akan cenderung bergerak menuju titik lain. Dan pergerakan ini didorong oleh fakta-fakta sosial yang mengekangnya. Tapi kecenderungan untuk mengobjektifikasikan dogma-dogma akan terhenti ketika umat dihegemoni sedemikian rupa dan dikurung dalam praktek-praktek keagamaan yang elitis. Maka dalam locus ini agama akan menjadi hal yang bersipat elitis.

Praktek keagamaan yang elitis tidak membuahkan sebuah perubahan material bagi kehidupan manusia. Ketika agama diobjektifikasikan oleh elite agama, yang terjadi adalah agama akan menjadi ladang legitimasi politik bahkan sebagai ladang untuk interest ekonomi. Dimana Islam dalam locus ini dipaksakan sebagai sebuah lokomotif untuk mobilisasi politik atau pun ekonomi, seperti halnya zakat, distrukturkan sebagai media ekonomi secara parsial. Akibat dari praktek keagamaan yang elitis adalah disfungsi agama sebagai sebuah perubahan sosial dan agama hanya mampu menjadi ritualitas. Sementara itu, dalam tataran praksis ketika islam diseret sebagai agama elitis baik dalam dunia politik maupun ekonomi, tetap saja Islam belum mampu didorong sebagai solve problem bagi individu-individu awam yang hidup dalam tekanan ekonomi maupun politik.

Mencari Akar Masalah

Kemapanan dan sikap tidak peduli, hegemoni melalui legitimasi agama adalah fenomena yang kerap ditemui dalam realitas kehidupan manusia dewasa ini. Kehidupan manusia kini telah menjadi ladang-ladang yang produktif bagi kemapanan, easy going, bahkan hegemonisasi. Hingga manusia selalu hidup dalam realitas yang serba paradoks, sebutlah ditengah keshalehan masih kentara sikap kedurhakaan, ditengah kemakmuran masih saja subur kemiskinan, dan ditengah tuntutan kebebasan masih juga dihantui oleh ketiranian. Apa sebenarnya yang salah dengan manusia? Keadaan ini menjadi fakta-fakta yang selalu membuat manusia selalu berada dalam realitas yang tertekan bahkan tereksploitasi. Hingga bagi manusia yang sadar akan dirinya akan berusaha mencari sebuah kanal untuk menyalurkan pemberontakan terhadap kemapanan yang timbul dari agama, maupun struktur material dari kehidupan manusia.

Setiap manusia dibekali oleh akal kreatif yang selalu ingin bebas dari tekanan-tekanan yang destruktif, baik tekanan yang timbul dari kultur mau pun struktur. Dan dalam tataran praktis manusia yang merasa tertekan atau pun tereksploitasi akan selalu berusaha menyimpang (devians) dari bentuk mainstream dari kehidupan yang mapan. Hingga penyimpangan dari agama sebenarnya tidak saja berasal dari inner motif tapi ada struktur yang menyebabkan penyimpangan ini terjadi. Mengeliatnya aliran-aliran baru dalam kehidupan beragama Islam dewasa ini, pada dasarnya tidak hanya didorong oleh arus liberalisasi pemikiran dalam islam. Tapi ada beberapa faktor lain yang menyebabkan kemunculan-kemunculan aliran baru ini. Seperti, persoalan kemiskinan, politisasi agama. Dengan ini manusia dalam tindakannya tidak pernah sepi dari motif yang mendorongnya. Hal ini, tepat dikatakan karena manusia adalah mahluk jasmaniah yang bertindak sesuai dengan stimulus yang menerpanya.

Jika ditelisik kedalam realitas kehidupan umat, maka timbulnya “aliran-aliran” baru tidak semata-mata persoalan perusakan Aqidah, tapi melihat realitas kehidupan beragama yang dewasa ini mulai karut marut—kekerasan dengan metode “kambing hitam” agama, sublimasi praktek keagamaan yang elitis, menyebabkan agama tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Hingga tidaklah lacur ketika “aliran-aliran” baru bermunculan sebagai akibat dari proses karut-marut kehidupan beragama yang muncul dari rahim ketidak pastian nilai para elit-elit agama. Kadang nilai-nilai pragmatis selalu menyertai keshalehan dan tumpang tindih pun antara nilai-nilai trasenden dengan nilai-nilai profan menyebabkan praktek keagamaan kian larut pada ritualitas elitis. Dalam keadaan ini, aliran-aliran baru merupakan sebuah auto kritik terhadap penyimpangan praktek keagamaan ke arah ritualitas elitis. Karena protes tidak saja bersipat silent, tapi ada juga protes yang bersipat menifest. Dan kemunculan “aliran baru” dalam Islam adalah protes yang manifest serta ditujukan secara gradual bagi kemapanan yang cenderung dipraktekan dewasa ini.

Pecahkan secara demokratis

Tak ada manusia yang ingin terusik ketenangan keberagamaannya dengan hal-hal yang menyimpang. Namun juga tidak ada manusia yang rela dihakimi, karena mereka adalah kaum minoritas. Maka pergulatan antara minoritas vs mayoritas akan selalu membatu dan tidak ada ujungnya. Hingga negara pun melakukan tindakan secara legal-formil, dengan pendekatan hukum. Maka gerakan minoritas yang meresahkan akan selalu ditekan dan pada akhirnya diseretkan pada kanal yang sempit, kemudian berakhir ditiang gantungan mau pun penjara. Bukankah penyimpangan jika ditekan akan semangkin terhujam dan akan berakar dengan kuat? Negara akan direpotkan secara permanent dengan perilaku penyimpangan yang pada dasarnya adalah sebuah gerakan silent opposition untuk kemapanan. Dia akan terus bermutasi, dan pada titik klimaksnya akan mengalahkan legitimasi negara lewat proses yang tidak diduga-duga.

Hak Asasi Manusia memang bersipat gradual, dan dengan dengan makna HAM yang gradual ini negara menyemai legitimasi untuk menekan penyimpangan dari gerakan minoritas “aliran-aliran sesat” ini. Tapi bagaimana pun reason dibalik tindakan negara terhadap aliran sesat, tetap akan ada sesuatu yang dikorbankan. Makanya pendekatan demokratis lewat proses yang dialogis dan melibatkan public reason penting dilakoni oleh negara. Pendekatan hukum tetap akan bermakna “hegemoni’ bagi kelompok minoritas “aliran sesat”. Makanya perlu proses pemecahan yang lebih demokratis-dialogis, bukan proses demokratis-prosedural, seperti pendekatan lewat jalur hukum. Allahu A’lamu