teroueskan membina tabijah islamijah ini sesoai dengan peladjaran yang koe berikan(syekh sulaiman ar-rasully)

Monday, March 12, 2007

EKONOMI ISLAM DAN SOCIAL CAPITAL

EKONOMI ISLAM DAN SOCIAL CAPITAL Oleh: Muhammad Sholihin (Kabid. Pengkaderan Anggota HMI Kom Syari'ah-IAIN "IB" Padang) Jika Kepercayaan Adalah Ukuran Yang Signifikan Dari Social Capital, Maka Ada Tanda-Tanda Yang Jelas Bahwa Social Capital Di Indonesia Tengah Mengalami Kemerosotan Dentuman Ekonomi Islam hampir bersamaan dengan Timbulnya ketidak percayaan atas system ekonomi konvensional yang telah lama bercokol sebagai system tunggal yang mengerakkan peronomian dunia. Krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara dan Negara-negara ketiga--aktualnya didedahkan oleh system ekonomi konvensional. Sejarah system ekonomi tidak bisa dilepaskan dari sejarah Vested Interest manusia sebagai mahluk Homo Economicus yang selalu bertindak rasional dan mengarahkan tindakan untuk memaksimalkan nilai Utility. Dalam system ekonomi konvensional manusia didorong untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas dengan memaksimal Resourch yang terbatas, dalam kontek ini manusia dalam tatanan kovensional didorong untuk berkompetisi. Persis apa yang dikatakan oleh Adam Smith dalam Magnum Opus-Nya "The Wealth Of Nations", Bahwa "tabiat menahan diri (Self-Restraint) dapat tumbuh subur dalam suatu masyarakat yang memberi peluang sebesar-besarnya bagi setiap orang untuk mengejar kepentingan diri sendiri (Pure Self-Interest)". Lihat bagaimana Adam Smith menekankan pentingnya kompetisi lewat asas mengejar kepentingan diri. Dalam Masyarakat Rasional prinsip yang diajarkan oleh Adam Smith ini telah menjadi sebuah keniscyaan motif dan fakta yang mendorong terciptanya atmosfer individualistik—tidak ada Social Capital yang menjadi basis prilaku ekonomi dalam masyarakat rasional atau masyarakat kapitalis ini, yang ada adalah bagaimana memaksimalkan utility, doktrin ini telah menyeret peradaban umat manusia kedalam peradaban rimba belantara neo-liberalisme yang mensakralkan globalisasi sebagai sebuah pusaka yang akan merambah peradaban neo-liberalis global. Doktrin-doktrin Smithian aktualnya telah melahirkan tipe-tipe masyarakat yang membuang Social Capital dalam menjalankan roda-roda kehidupan ekonomi—didalam Social Capital terdapat senyawa-senyawa kepercayaan, solidaritas sosial dan kejujuran yang diprediksi berperan aktif menghancurkan kepentingan diri. Tanpa spirit kepentingan diri system ekonomi konvensional bagaikan tubuh tanpa nyawa, karena tanpa Self-Interest--kompetisi ala barbarian untuk memaksimalkan nilai utility akan kehilangan makna kompetisi-Nya dalam tatanan masyarakat rasional. System ekonomi konvensional pada saat sekarang yang identik dengan neo-liberalisme telah mencapai titik kulminasi atau titik jenuh, dalam kontek ini zaman akan mengalami Turning Point—dimana manusia-manusia mulai menelanjangi kesalahan-kesalahan neo-liberalisme, sehingga lahirlah berbagai hasrat untuk kembali menerapkan sistem-sistem yang berbasiskan norma dan etika agama. Dalam peradaban ekonomi konvensional yang paling berperan adalah Vested Interest para korporat-korporat yang memiliki modal yang besar. Proses kehidupan ekonomi aktualnya dikontrol oleh pemilik modal ini, Banyak trik yang digunakan oleh korporat-korporat ini untuk menguasai Sphere Market—Merger, predator harga atau diskriminasi harga merupakan trik-trik yang didedahkan oleh karporat-karporat untuk menguasai pasar secara monopoli, inilah dunia konvensional yang didalamnya hanya terdapat spirit-spirit kepentingan diri—tidak ada tempat untuk nilai-nilai yang menghambat akumulasi Self-Interest, sebutlah Social Capital. Dalam tatanan ekonomi konvensional ini Icon Modal merupakan hal yang disakralkan. Sedangkan Nilai-nilai kepercayaan, kejujuran dan solidaritas sosial merupakan tumbal bagi sebuah tatanan ekonomi konvensional. Di Indonesia jika Parameter Social Capital adalah kepercayaan, Maka Ada Tanda-Tanda Yang Jelas Bahwa Social Capital Di Indonesia Tengah Mengalami Kemerosotan. Akankah Indonesia terus melakukan pembelaan-pembelaan terhadap tatanan ini konvensional ini? Intensitas Self-Interest yang ada dalam tatanan ekonomi konvensional telah melahirkan berbagai paradoks, atau dalam bahasa Jurgen Habermas Paradoks ini disebutnya sebagai krisis yang menjalar. Krisis ekonomi yang terjadi di Negara-negara ketiga dewasa ini merupakan anak kandung dari kapitalisme. Krisis ekonomi tidak saja menyebabkan krisis dalam kontek ekonomi An Sich, tetapi telah menjalar dalam bentuk krisis legitimasi (Legitimation Crisis) dan Krisis Motivasi, dalam keadaan ini semua tatanan menjadi tatanan yang Choatic—anomali dalam aspek ekonomi dan nilai menjadi sebuah keniscayaan pada masyarakat yang dilanda krisis. Krisis ini aktualnya didorong oleh Idolisasi Self-Interest dalam tatanan masyarakat yang memamah system ekonomi konvensional secara latah. Dalam kondisi inilah system Ekonomi Islam menemukan momentumnya, sebab kejenuhan yang disebabkan oleh krisis ekonomi dalam tatanan masyarakat yang berjalan di atas system ekonomi konvensional telah mendorong terjadinya Turning paradigm. Hal ini dilakukan oleh Masyarakat di Dunia ketiga sebutlah dunia Timur dengan cara melakukan refleksi terhadap kegagalan system ekonomi konvensional serta kembali mengali system ekonomi yang berbasiskan norma-norma agama, sebutlah system Ekonomi Islam, walaupun ada timbul sikap Apatis melihat Prospek system ekonomi islam di tengah-tengah arus neo-liberalisme yang telah menunjukan Perkembangan yang luar biasa. Di luar kontek ini system ekonomi islam tetap memberikan harapan akan tumbuh kembangnya tatanan ekonomi masyarakat yang berbasiskan Social Capital. Di mana nilai-nilai kejujuran, solidaritas sosial, serta Social Justice adalah menu-menu yang dapat dinikmati dari system ekonomi islam. Nilai-nilai sosial dan humanitarin merupakan Ultimat Goal yang didedahkan oleh system ekonomi islam. Tindakan ekonomi individu melalui proses filterisasi moral yang bertujuan menjaga Self-Interest dalam batas-batas kemaslahatan sosial (Social Interest), tentang hal ini Umar Chapra Bertutur "…Proses Ini Dilakukan Dengan Cara Mengubah Preference Individu Menurut Prioritas Sosial Dan Menghapuskan Atau Meminimalkan Penggunaan Sumber-Sumber Daya Yang Bertujuan Menggagalkan Realisasi Kemaslahtan Sosial". System ekonomi islam pada dasarnya mendorong terjadinya Equilibrium antara Self-Interest dan Social Interest, sehingga paradoks-paradoks yang lahir dari ketidak keseimbangan antara dua nilai ini dapat diminimalisir. Rekonstruksi Social Capital Sebagai Icon Ekonomi Islam Dewasa ini Perkembangan ekonomi islam di Indonesia memperlihatkan prastasi yang mengembirakan—lembaga perekonomian syari'ah bermunculan, mulai dari lembaga keuangan syari'ah, asuransi syari'ah sampai dengan Badan Amil Zakat yang berfungsi sebagai lembaga distribusi pendapatan melalui term zakat, wakaf untuk masyarakat yang kurang mampu. Aktualnya semua gairah ekonomi islam yang diwujudkan dengan bentuk-bentuk lembaga formal ini berperan efektif untuk Akselerasi Perkembangan system ekonomi islam sebagai sebuah tatanan ekonomi. Namun di samping itu ada kecenderungan masyarakat di Indonesia dewasa ini memahami Bank Syariah sebagai icon sentral dari system Ekonomi Islam, dalam kontek ini perlu ada penafsiran kembali terhadap nilai-nilai fundamental dari System Ekonomi Islam. Ekonomi islam sebagai sebuah system lebih mendorong lahirnya sikap Patnership antar sesama masyarakat di tingkat bawah (Grass Root), artinya nilai-nilai pemberdayaan dari kaum Ghaniyin (kaya) terhadap kaum Dhuafa (lemah) merupakan Crusial Point yang didorong oleh system ekonomi islam. System Ekonomi islam yang mengedepankan social capital sebagai sebuah Icon sentral dapat dilacak dari prilaku Nabi Muhammad SAW, yang mengupayakan menimbulkan nilai-nilai kepercayaan dalam kelompok Anshar dan Muhajirin yang ditujukan membangun tatanan perekonomian yang berbasiskan Patnership—Skem yang diterapkan Nabi SAW dalam mendorong lahirnya perekonomian yang berbasiskan Social Capital ditempuh berdasarkan prinsip kerjasama, sebutlah skem Musyarakah dan Mudharabah dalam bidang pertanian dan perdagangan. Kalau kita bawakan ke dalam kontek Keindonesia-an system ekonomi islam merupakan tatanan ekonomi yang cukup relevan diterapkan di wilayah Indonesia, Mengingat potensi mulikultural yang memungkin terjadinya kemitraan dalam pluralitas Sosio-kultural, dengan system ekonomi islam yang berbasiskan Social Capital secara efektif akan dapat meminimalisir disintegrasi ekonomi di tengah-tengah masyarakat yang majemuk■

Saturday, March 03, 2007

BUDAYA POPULER MENGUBUR MINANGKABAU

BUDAYA POPULER MENGUBUR MINANGKABAU

Oleh: Muhammad Sholihin

(Anggota Forum Diskusi Surau Tuo Ar Rasuly-Padang)

Minangkabau sebuah nama yang tidak lagi asing Ditelinga manusia-manusia yang terpesona dengan keindahan dan kewibawaanya sebagai sebuah Negeri. Banyak sudah kisah yang terukir dari sejarah Minangkabau--roman kepahlawanan, keagamaan dan kebudayaan yang luhur lahir dari rahim Minangkabau.

Filosofi-filosofi hidup mempunyai kekuatan yang mampu menghidupkan jiwa yang kering serta mengerakkan tubuh yang lemah membesit dari bumi Minangkabau, seperti filosofi " Alam Takambang Jadi Guru" yang mampu mengerakkan seorang Tan Malaka melawan kolonialisme dan imperialisme-kapitalis di Era perjuangan. Di samping itu Rakyat yang berbudaya dan masyarakat yang ramah tamah menjadi himbauan yang mengharumkan Minangkabau.

Di sisi lain Cara pandang orang Minangkabau sangat kental dengan warna pemikiran yang radikal, sebab pada gholibnya orang minang dalam memandang sesuatu akan melibatkan pikiran yang mendalam dan meletakkan dialektika pikiran sebagai identitas diri dalam memaknai diri dan alam-Nya.

Namun hari ini Minangkabau terkubur dalam Perubahan zaman yang semangkin komplek serta Perkembangan teknologi informasi yang melewati batas-batas territorial (Territorial Over) dan perkembangan teknologi informasi ini menjadi sebuah keniscayaan yang melanda dunia pada umumnya dan ranah minang pada khususnya. Inilah yang sebut sebagai Digitalisasi Realitas yang dikonstruksi oleh globalisasi, dimana segala gerak dan prilaku didasarkan atas irrasionalitas materialistik, dalam kontek inilah sebenarnya Nietzsche mengatakan The End Of God (Kematian Tuhan), sebab dalam globalisasi nilai-nilai transenden akan digantikan oleh nilai-nilai temporer. Kalau kita korelasikan dengan kontek ini bagaimana dengan Minangkabau?akankah terkubur dalam ironi-ironi perubahan yang Mendistorsi nilai-nilai luhur dari minang itu sendiri?.

Sebagai sebuah mesin--globalisasi telah menjadikan ironi-ironi perubahan yang paradoks dan paradoks-paradoks tidak dapat ditolak bagi wilayah-wilayah yang Mengadopsi kultur-kultur yang ditawarkan oleh globalisasi ini. Dewasa ini Budaya atau kultur yang cukup menyesakkan dada sebagai orang minang ialah "orang-orang minang secara massif mengkonsumsi budaya populer", sehingga nilai-nilai luhur budaya dan nilai-nilai transenden telah digantikan oleh nilai-nilai materialistik dan serba instant.

Budaya Populer Mengubur Minangkabau

Perkembangan informasi dewasa ini telah melintasi batas-batas territorial. Kausalitasnya hampir tidak ada wilayah yang tidak tersentuh oleh Perkembangan informasi. perkembagan informasi telah menciptakan paradoks-paradoks dalam masyarakat dan budaya populer merupakan sebuah paradoks yang lahir dari rahim Perkembangan informasi (Information Growth) ini sendiri.

Secara factual Ranah Minang beberapa dekade ini telah dilanda oleh berbagai kontradiksi-kontradiksi yang melemahkan sendi-sendi Budaya minang. Kontradiksi-kontradiksi ini berupa perubahan kondisi geobudaya Minangkabau, perubahan geobudaya minang ini, aktualnya didorong oleh konsumsi massif masyarakat minang terhadap Budaya populer dalam kehidupan bermasyarakat, beragama dan berbudaya.

Menjadi pemandangan yang Lumrah, mode-mode yang ditiru oleh masyarakat Minang adalah imitasi-imitasi dari mode-mode yang diinformasikan oleh Perkembangan teknologi informasi--Cara anak muda minang berpakaian dan berprilaku, serta cara berpikir pejabat minang yang dangkal merupakan Budaya populer yang menjadi maenstream di Minangkabau hari ini.

Dan fenomena diatas dikonsumsi oleh hampir semua komponen masyararakat Minangkabau. Orang-orang minang hari ini sibuk mengimitasikan diri dengan objek-objek yang dikagumi, anak muda mengimitasikan diri dengan gaya selebriti, pejabat mengimitasikan dengan cara berpikir ala tokohnya--yang mementingkan manuver kekuasaan dibandingkan mengunakan kekuasaan itu sebagai sebuah media transformasi social.

Budaya luhur minang kini digantikan oleh Budaya yang berbasiskan meterialistik dan serba instant, nilai-nilai transenden dalam agama kini digantikan oleh nilai-nilai yang profan. Orang minang hari ini tidak lagi sangup mendefenisikan dirinya sebagai orang yang berpikir radikal dan kritis. Generasi muda kini malas berpikir radikal. Prilaku-prilaku yang mengimitasikan diri dengan objek kekaguman, kini mewarnai kehidupan di Minangkabau. Minangkabau hampir punah seiring tergantikannya nilai-nilai luhur Budaya minang oleh Budaya populer. Kausalitas dari semua ini adalah budaya populer akan mengubur Minangkabau, dimana kearifan Budaya dan filosofi Minangkabau kini digantikan oleh Vested Interest Budaya populer.

Ironis yang lebih parah dari Budaya populer adalah Budaya ini akan mengikis habis rasa kritis, kreatif yang dimiliki oleh orang Minang. Budaya Minang akan kehilangan arah (Anomaly Of Culture) seiring invasi Budaya populer, harus ada resistensi terhadap Budaya populer ini. Resistensi ini harus dilakoni oleh masyarakat minang dengan cara berpikir kritis dan kreatif sembari melakukan reposisi terhadap Budaya minang hari ini.

Budaya Populer Dan Industrialisasi Budaya

Yasraf Amir Piliang mendeteksi budaya popular sebagai "suatu jenis kebudayaan yang perkembangannya tidak bisa dipisahkan dari perkembangan industrialisasi, kapitalisme dan konsumerisme". Dalam hal ini budaya popular berkaitan dengan budaya massa (Mass Culture), budaya populer merupakan sebuah budaya yang diproduksi untuk masyarakat dengan motif industri dan digerakkan oleh hasrat untuk mengakumulasikan profit (Profit Desire).

Kalau kita amati praktek budaya populer telah menyentuh semua lapisan masyarakat dari level Grass Root sampai kalangan elit, sebutlah dari petani, buruh, pejabat, Ustad bahkan Kiai telah menjadikan budaya populer sebagai kebutuhan yang dikonsumsi secara massif. Praktek budaya populer di masyarakat tidak saja bersentuhan dengan prilaku, tetapi juga bersentuhan dengan cara berpikir populer yang ditandai dengan berpikir serba dangkal—berpikir yang mendahulukan penampilan (Performance) ketimbang isi (Content).

Penampilan yang dijadikan sebagai poros dari Pendefenisian diri, merupakan Modus Operandi-Nya Budaya Populer, lihat Gaya yang ditampilkan oleh sebagian Kiai mulai dari cara berpakaian, cara menuturkan pengajian merupakan Budaya Populer yang Dikombinasikan dengan wilayah-wilayah Agama, sebutlah model yang tawarkan oleh UJ, AA Gym atau kiai yang lainnya. Dalam kontek ini Harus kita pahami ketika Dakwah yang dikombinasikan dengan budaya populer merupakan sebuah budaya yang diproduksi yang berdasarkan Industrialisasi Budaya (Culture Manufacture) yang tanpa kita sadari telah mendistorsi nilai-nilai transenden agama dan mengantikannya dengan nilai-nilai materialistik.

Dalam kontek ini Budaya populer merupakan budaya yang diproduksi Oleh industri budaya yang ditujukan untuk melakukan akumulasi nilai (Baca. Profit) produksi dengan pendekatan-pendekatan budaya, bahkan mendorong terjadi perselingkuhan agama dengan nilai-nilai yang Profan. Dan budaya pupuler yang diproduksi oleh industri budaya secara alami yang mengantikan sakralitas dari agama dan budaya luhur yang selayaknya kita pertahankan■