Demoralisasi Wakil Rakyat
Oleh: Khairul Fahmi,
( Pengurus PBHI Wilayah Sumbar )
Bagi bangsa kita, permintaan aneh-aneh yang dibuat wakil rakyat di Senayan tidaklah aneh. Yang aneh, justru kalau wakil rakyat itu berbuat yang tidak aneh. Tidak aneh, kalau mereka setiap ada kesempatan menaikkan gajinya di tengah meningkatnya kemiskinan dan penderitaan rakyat. Tidak aneh juga, ketika wakil rakyat suka pergi jalan-jalan ke sana kemari, pergi acara ini acara itu, walaupun kadang-kadang juga ada fiktif. Juga tidak aneh, kalau wakil rakyat minta laptop seharga Rp 21 juta per unit di tengah bergelimpangannya para pengungsi korban gempa di tenda-tenda yang sungguh tak sehat bagi mereka. Itu sudah menjadi pemandangan biasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri yang amat tercinta ini. Justru aneh, kalau kita yang menyaksikan pemandangan itu merasa heran. Juga aneh, kalau kita marah-marah kepada wakil rakyat itu. Sangat aneh lagi, kalau kita berharap mereka mau kembali para khitah mereka sebagai wakil rakyat. Yang tidak aneh adalah ketika kita biarkan mereka seperti itu, kita biarkan mereka menikmati uang rakyat sesuka hatinya. Memang keterlaluan anggota DPR itu. Laptop yang hanya berharga Rp 21 juta untuk mereka atau staf ahli harus diambilkan dari kas negara. Uang Rp 21 juta belumlah seberapa untuk para wakil rakyat yang ada di Senayan itu. Tapi, penyesalan kita terhadap wakil rakyat ini menjadi sesuatu yang aneh. Tidak lumrah disampaikan kepada wakil rakyat itu. Harus diingat juga, sesuatu yang aneh memang susah diterima di republik ini. Mungkin karena republik ini sudah terlanjur rusak. Sekarang semuanya memang sudah terbalik. Rakyat suka mengerjakan hal-hal yang aneh seperti hidup miskin, makan tanah karena tidak ada beras di Pesisir Selatan, hidup di tenda-tenda pengungsian. Sementara wakil rakyat yang pangkatnya lebih rendah dari rakyat suka melakukan hal-hal yang biasa-biasa saja. Seperti menganggarkan uang ini dan uang itu dalam APBN dan APBD, jalan-jalan kesana kemari memakai uang APBN dan APBD, makan enak di restoran-restoran mewah. Kampanye kapanpun dan dimanapun, tidak peduli apakah dalam kondisi normal atau dalam kondisi rakyat ditimpa musibah. Yang jelas, spanduk untuk kampanye dipajang di dekat tenda-tenda pengungsian masyarakat yang kena musibah. Untuk apa semua itu? Buat apa lagi kalau bukan untuk jadi wakil rakyat periode berikutnya. Pemandangan itu memang bukan sesuatu yang aneh di negeri yang (sekali lagi) amat tercinta ini. Ada anekdot soal siapakah manusia yang paling bersih hatinya? Sebagian orang menjawab, manusia yang paling bersih hatinya adalah para ulama dan kyai, karena merekalah orang-orang yang memberikan nasihat bagi manusia untuk selalu ingat pada Sang Pencipta. Tapi sayang jawaban itu salah. Dijawab lagi oleh sebagian yang lain. Orang yang paling bersih hatinya adalah para guru, karena merekalah yang membawa manusia lain keluar dari kebodohan. Sayangnya jawaban inipun masih salah. Lantas apa jawaban yang benar? Kata sebagian orang, manusia yang paling bersih hatinya adalah pengacara. Kenapa? Karena hatinya tidak pernah dipakai. Hati yang tidak pernah dipakai, tentunya tidak akan kotor. Oleh karena pengacara tidak pernah memakai hatinya, maka dialah yang dinobatkan sebagai orang yang paling bersih hatinya. Di negeri aneh yang tidak aneh ini, bukan hanya pengacara yang dapat dinobatkan sebagai manusia yang paling bersih hatinya, tapi ada manusia lain yang justru lebih bersih lagi hatinya dari pengacara. Peringkat nomor satu orang yang paling bersih hatinya, sekarang sudah berpidah dari pengacara ke manusia lain. Mereka adalah para wakil rakyat yang kita pilih setiap 5 tahun sekali itu. Wakil rakyat inilah yang paling tepat menyandang gelar sebagai manusia yang paling bersih hatinya. Alasannya sama, karena wakil rakyat juga tidak pernah memakai hatinya. Cobalah kita berjalan ke daerah-daerah yang sekarang ditimpa bencana. Tidak usah jauh-jauh, tidak usah pergi ke Yogyakarta, Pangandaran atau Manggarai NTB, daerah kita ini sajalah. Amatilah pemandangan di daerah yang letaknya di pinggir jalan, mudah dijangkau, akses mudah, di sana terpajang ribuan spanduk orang-orang yang katanya wakil rakyat dan hendak jadi wakil rakyat. Lalu amati lagi daerah-daerah pelosok yang susah dijangkau, jalannya buruk, mendaki berbatu-batu lagi. Tidak ada spanduk-spanduk yang bergentayangan itu. Lagi pula penduduknya juga tidak terlalu padat, jadi tidak terlalu signifikan untuk penambahan suara dalam Pemilu. Jelas saja maksudnya adalah melakukan kampanye “perai”. Tapi tidak apa-apa jugalah. Namun yang lebih miris, kita melihatnya adalah bantuan yang diberikan hanya “dua kardus mie”, pasang spanduk, lalu pergi lagi. Mungkin spanduk yang lebih banyak dibanding bantuannya. Ada juga yang datang mengunjungi daerah-daerah kena musibah, yang kerjanya merepotkan semua orang dan memaksa orang untuk melayani kedatangan dia dibanding melayani orang-orang yang nyaris kelaparan di tenda-tenda pengungsian. Tapi ini bukanlah pemandangan yang aneh di negeri yang sangat kita cintai ini. Di tengah kondisi seperti itu, yang namanya wakil rakyat, kita tetap minta dibelikan laptop (walaupun ada juga yang tidak bisa mengoperasikannya). Dimana letak hati para wakil rakyat itu? Sungguh hati mereka sangat bersih karena memang tidak pernah dipakai. Yang peka terhadap kondisi-kondisi kemanusiaan biasanya adalah hati. Oleh karena hati tidak pernah dipakai, maka kepekaan itupun hilang ditelan proses “pembersihan hati” itu sendiri. Kita tidak butuh orang-orang berhati bersih karena tidak pernah dipakai. Kita butuh orang-orang yang hatinya sudah agak sedikit “kumuh”, karena begitu pekanya ia terhadap berbagai kondisi yang menerpa rakyat di negeri ini. Tapi sayangnya, sangat aneh kalau kita dapat wakil rakyat yang hatinya kumuh karena sering dipakai itu. Sebaliknya sangat tidak aneh jika saat ini bergentayangan para wakil rakyat berhati bersih dan entah kapan hati para wakil rakyat itu bisa dimanfaatkan, mungkin setelah kita semua mati kelaparan. Itupun belum pasti. Apa yang terjadi dengan para wakil rakyat kita? Meminjam istilah Mahfud MD, sudah habis teori di gudang untuk menjelaskannya. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mereka? Tanggung jawab kita hanyalah sampai pada tingkat mengingatkan para wakil rakyat itu. Soal mereka mau memakai hatinya atau tidak, itu bukan urusan orang yang menyampaikan. Dalam konteks hubungan bernegara, kita tetap tidak bisa biarkan para wakil rakyat bertindak semaunya. Dalam kondisi rakyat sedang susah, uang rakyat justru dipakai untuk hal-hal yang sifatnya remeh-temeh seperti beli laptop. Walaupun hanya akan menghabiskan APBN sebesar Rp2,1 miliar, tapi itu sudah cukup untuk merekonstruksi 2 hingga 3 kecamatan yang porak-poranda akibat gempa di Sumatera Barat. Mereka benar-benar sudah keterlaluan. Tidak salah jika orang mengatakan bahwa sebagian wakil rakyat itu sudah masuk dalam kondisi keruntuhan moral (walaupun tetap tidak aneh). (***)
No comments:
Post a Comment