EKONOMI ISLAM DAN SOCIAL CAPITAL
Oleh: Muhammad Sholihin
(Kabid. Pengkaderan Anggota HMI Kom Syari'ah-IAIN "IB" Padang)
Jika Kepercayaan Adalah Ukuran Yang Signifikan Dari Social Capital, Maka Ada Tanda-Tanda Yang Jelas Bahwa Social Capital Di Indonesia Tengah Mengalami Kemerosotan
Dentuman Ekonomi Islam hampir bersamaan dengan Timbulnya ketidak percayaan atas system ekonomi konvensional yang telah lama bercokol sebagai system tunggal yang mengerakkan peronomian dunia. Krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara dan Negara-negara ketiga--aktualnya didedahkan oleh system ekonomi konvensional.
Sejarah system ekonomi tidak bisa dilepaskan dari sejarah Vested Interest manusia sebagai mahluk Homo Economicus yang selalu bertindak rasional dan mengarahkan tindakan untuk memaksimalkan nilai Utility. Dalam system ekonomi konvensional manusia didorong untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas dengan memaksimal Resourch yang terbatas, dalam kontek ini manusia dalam tatanan kovensional didorong untuk berkompetisi. Persis apa yang dikatakan oleh Adam Smith dalam Magnum Opus-Nya "The Wealth Of Nations", Bahwa "tabiat menahan diri (Self-Restraint) dapat tumbuh subur dalam suatu masyarakat yang memberi peluang sebesar-besarnya bagi setiap orang untuk mengejar kepentingan diri sendiri (Pure Self-Interest)". Lihat bagaimana Adam Smith menekankan pentingnya kompetisi lewat asas mengejar kepentingan diri.
Dalam Masyarakat Rasional prinsip yang diajarkan oleh Adam Smith ini telah menjadi sebuah keniscyaan motif dan fakta yang mendorong terciptanya atmosfer individualistik—tidak ada Social Capital yang menjadi basis prilaku ekonomi dalam masyarakat rasional atau masyarakat kapitalis ini, yang ada adalah bagaimana memaksimalkan utility, doktrin ini telah menyeret peradaban umat manusia kedalam peradaban rimba belantara neo-liberalisme yang mensakralkan globalisasi sebagai sebuah pusaka yang akan merambah peradaban neo-liberalis global.
Doktrin-doktrin Smithian aktualnya telah melahirkan tipe-tipe masyarakat yang membuang Social Capital dalam menjalankan roda-roda kehidupan ekonomi—didalam Social Capital terdapat senyawa-senyawa kepercayaan, solidaritas sosial dan kejujuran yang diprediksi berperan aktif menghancurkan kepentingan diri. Tanpa spirit kepentingan diri system ekonomi konvensional bagaikan tubuh tanpa nyawa, karena tanpa Self-Interest--kompetisi ala barbarian untuk memaksimalkan nilai utility akan kehilangan makna kompetisi-Nya dalam tatanan masyarakat rasional.
System ekonomi konvensional pada saat sekarang yang identik dengan neo-liberalisme telah mencapai titik kulminasi atau titik jenuh, dalam kontek ini zaman akan mengalami Turning Point—dimana manusia-manusia mulai menelanjangi kesalahan-kesalahan neo-liberalisme, sehingga lahirlah berbagai hasrat untuk kembali menerapkan sistem-sistem yang berbasiskan norma dan etika agama.
Dalam peradaban ekonomi konvensional yang paling berperan adalah Vested Interest para korporat-korporat yang memiliki modal yang besar. Proses kehidupan ekonomi aktualnya dikontrol oleh pemilik modal ini, Banyak trik yang digunakan oleh korporat-korporat ini untuk menguasai Sphere Market—Merger, predator harga atau diskriminasi harga merupakan trik-trik yang didedahkan oleh karporat-karporat untuk menguasai pasar secara monopoli, inilah dunia konvensional yang didalamnya hanya terdapat spirit-spirit kepentingan diri—tidak ada tempat untuk nilai-nilai yang menghambat akumulasi Self-Interest, sebutlah Social Capital. Dalam tatanan ekonomi konvensional ini Icon Modal merupakan hal yang disakralkan. Sedangkan Nilai-nilai kepercayaan, kejujuran dan solidaritas sosial merupakan tumbal bagi sebuah tatanan ekonomi konvensional. Di Indonesia jika Parameter Social Capital adalah kepercayaan, Maka Ada Tanda-Tanda Yang Jelas Bahwa Social Capital Di Indonesia Tengah Mengalami Kemerosotan. Akankah Indonesia terus melakukan pembelaan-pembelaan terhadap tatanan ini konvensional ini?
Intensitas Self-Interest yang ada dalam tatanan ekonomi konvensional telah melahirkan berbagai paradoks, atau dalam bahasa Jurgen Habermas Paradoks ini disebutnya sebagai krisis yang menjalar. Krisis ekonomi yang terjadi di Negara-negara ketiga dewasa ini merupakan anak kandung dari kapitalisme. Krisis ekonomi tidak saja menyebabkan krisis dalam kontek ekonomi An Sich, tetapi telah menjalar dalam bentuk krisis legitimasi (Legitimation Crisis) dan Krisis Motivasi, dalam keadaan ini semua tatanan menjadi tatanan yang Choatic—anomali dalam aspek ekonomi dan nilai menjadi sebuah keniscayaan pada masyarakat yang dilanda krisis. Krisis ini aktualnya didorong oleh Idolisasi Self-Interest dalam tatanan masyarakat yang memamah system ekonomi konvensional secara latah.
Dalam kondisi inilah system Ekonomi Islam menemukan momentumnya, sebab kejenuhan yang disebabkan oleh krisis ekonomi dalam tatanan masyarakat yang berjalan di atas system ekonomi konvensional telah mendorong terjadinya Turning paradigm. Hal ini dilakukan oleh Masyarakat di Dunia ketiga sebutlah dunia Timur dengan cara melakukan refleksi terhadap kegagalan system ekonomi konvensional serta kembali mengali system ekonomi yang berbasiskan norma-norma agama, sebutlah system Ekonomi Islam, walaupun ada timbul sikap Apatis melihat Prospek system ekonomi islam di tengah-tengah arus neo-liberalisme yang telah menunjukan Perkembangan yang luar biasa. Di luar kontek ini system ekonomi islam tetap memberikan harapan akan tumbuh kembangnya tatanan ekonomi masyarakat yang berbasiskan Social Capital. Di mana nilai-nilai kejujuran, solidaritas sosial, serta Social Justice adalah menu-menu yang dapat dinikmati dari system ekonomi islam.
Nilai-nilai sosial dan humanitarin merupakan Ultimat Goal yang didedahkan oleh system ekonomi islam. Tindakan ekonomi individu melalui proses filterisasi moral yang bertujuan menjaga Self-Interest dalam batas-batas kemaslahatan sosial (Social Interest), tentang hal ini Umar Chapra Bertutur "…Proses Ini Dilakukan Dengan Cara Mengubah Preference Individu Menurut Prioritas Sosial Dan Menghapuskan Atau Meminimalkan Penggunaan Sumber-Sumber Daya Yang Bertujuan Menggagalkan Realisasi Kemaslahtan Sosial". System ekonomi islam pada dasarnya mendorong terjadinya Equilibrium antara Self-Interest dan Social Interest, sehingga paradoks-paradoks yang lahir dari ketidak keseimbangan antara dua nilai ini dapat diminimalisir.
Rekonstruksi Social Capital Sebagai Icon Ekonomi Islam
Dewasa ini Perkembangan ekonomi islam di Indonesia memperlihatkan prastasi yang mengembirakan—lembaga perekonomian syari'ah bermunculan, mulai dari lembaga keuangan syari'ah, asuransi syari'ah sampai dengan Badan Amil Zakat yang berfungsi sebagai lembaga distribusi pendapatan melalui term zakat, wakaf untuk masyarakat yang kurang mampu. Aktualnya semua gairah ekonomi islam yang diwujudkan dengan bentuk-bentuk lembaga formal ini berperan efektif untuk Akselerasi Perkembangan system ekonomi islam sebagai sebuah tatanan ekonomi.
Namun di samping itu ada kecenderungan masyarakat di Indonesia dewasa ini memahami Bank Syariah sebagai icon sentral dari system Ekonomi Islam, dalam kontek ini perlu ada penafsiran kembali terhadap nilai-nilai fundamental dari System Ekonomi Islam. Ekonomi islam sebagai sebuah system lebih mendorong lahirnya sikap Patnership antar sesama masyarakat di tingkat bawah (Grass Root), artinya nilai-nilai pemberdayaan dari kaum Ghaniyin (kaya) terhadap kaum Dhuafa (lemah) merupakan Crusial Point yang didorong oleh system ekonomi islam.
System Ekonomi islam yang mengedepankan social capital sebagai sebuah Icon sentral dapat dilacak dari prilaku Nabi Muhammad SAW, yang mengupayakan menimbulkan nilai-nilai kepercayaan dalam kelompok Anshar dan Muhajirin yang ditujukan membangun tatanan perekonomian yang berbasiskan Patnership—Skem yang diterapkan Nabi SAW dalam mendorong lahirnya perekonomian yang berbasiskan Social Capital ditempuh berdasarkan prinsip kerjasama, sebutlah skem Musyarakah dan Mudharabah dalam bidang pertanian dan perdagangan.
Kalau kita bawakan ke dalam kontek Keindonesia-an system ekonomi islam merupakan tatanan ekonomi yang cukup relevan diterapkan di wilayah Indonesia, Mengingat potensi mulikultural yang memungkin terjadinya kemitraan dalam pluralitas Sosio-kultural, dengan system ekonomi islam yang berbasiskan Social Capital secara efektif akan dapat meminimalisir disintegrasi ekonomi di tengah-tengah masyarakat yang majemuk■
teroueskan membina tabijah islamijah ini sesoai dengan peladjaran yang koe berikan(syekh sulaiman ar-rasully)
Monday, March 12, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment