teroueskan membina tabijah islamijah ini sesoai dengan peladjaran yang koe berikan(syekh sulaiman ar-rasully)

Tuesday, April 24, 2007

SELAMAT DAN SUKSES

GENERASI ISLAM ENERGIK GIE TARBIYAH ISLAMIYAH SELAMAT DAN SUKSES KEPADA HERI SURIKNO SEBAGAI KETUA PENGURUS BESAR ASOSIASI MAHASISWA AR-RASULLY PERIODE 2007-2008 Hormat kami KETUA dto FAUZI FERNANDES

MELACAK AKAR KRISIS TARBIYAH ISLAMIYAH

MELACAK AKAR KRISIS TARBIYAH ISLAMIYAH

Oleh: Muhammad Sholihin

(Generasi Muda Tarbiyah Islamiyah)

Secara factual posisi Tarbiyah Islamiyah ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini telah mengalami penurunan, Indikator-indikator penurunan posisi ini dapat dilihat dari. Pertama, di bidang pendidikan. Pendidikan bagi Tarbiyah Islamiyah adalah Pondasi yang paling mendasar dalam proses Transformasi nilai-nilai agama, Budaya dan ideologi. Dalam konteks ini sekolah adalah media yang panting dalam proses pendidikan ini. Akan tetapi realitasnya Sekolah (MTI) yang merupakan media pendidikan bagi Tarbiyah Islamiyah telah mengalami krisis, seiring adanya diskoneksi antara sekolah dengan organisasi Tarbiyah Islamiyah, sehingga sekolah saat ini Dalam prakteknya menjalankan misi pendidikan dan proses transformasi nilai-nilai ideologi berjalan sendiri tanpa adanya dukungan dari organisasi Tarbiyah Islamiyah, disisi lain kita melihat sekolah (MTI) kini terjebak dalam pikiran pragmatisme yang didorong oleh krisis komunikasi antara komponen organisasi Tarbiyah Islamiyah dengan praktisi pendidikan dalam lingkungan sekolah-sekolah (MTI). Pragmatisme inilah pada gholibnya yang menyebabkan kemunduran Human Resourches yang diproduksi oleh sekolah (MTI) dalam pergulatan-Nya di dunia pendidikan.

Kedua, di bidang Dakwah--aspek Dakwah sebagai komponen kedua dalam untaian kalimat khittah Tarbiyah Islamiyah, kini tidak lagi menampak reaksi apa-apa terhadap proses pencerahan masyarakat Tarbiyah Islamiyah. Karena pada dasarnya dakwah hari ini pada tradisi Tarbiyah Islamiyah telah mengalami proses Turning Point yang mengarah pada bentuk kemunduran di bidang dakwah. Aktualnya Hampir disetiap MTI, dan basis-basis massa masyarakat Tarbiyah Islamiyah tradisi dakwah tidak lagi menjadi pilihan dalam proses pencerahan diri, masyarakat dan agama. Hal ini rilnya disebabkan karena tidak adanya program yang mengarah secara intens ke bidang dakwah dalam mengopersionalkan organisasi Tarbiyah Islamiyah. Ketiga, Dekrementasi di Bidang Sosial--aspek Sosial sesuai dengan khittah merupakan muara dari implementasi aspek pendidikan dan dakwah. Dimana Respon yang baik terhadap kondisi sosial bagi Tarbiyah Islamiyah adalah sebuah pencitraan dari pendidikan dan dakwah yang kuat. Akan tetapi hari ini Tarbiyah Islamiyah telah kehilangan kepekaan terhadap kehidupan sosial, hal ini terbukti dengan lemahnya organisasi Tarbiyah Islamiyah dalam ekonomi dan politik.

Dalam ekonomi Tarbiyah Islamiyah tidak mempunyai sel-sel ekonomi yang kuat, karena memang tidak adanya badan secara struktural dalam organisasi Tarbiyah Islamiyah yang mengarah pada pemberdayaan ekonomi dalam kontek kehidupan ekonomi mikro dan makro. Disamping itu secara politik Tarbiyah Islamiyah dalam prakteknya diseret kedalam persepsi bahwa Tarbiyah Islamiyah itu adalah anak tiri dari partai Golkar. Persepsi ini pada dasarnya adalah stimulator yang mengakibatkan orang-orang Tarbiyah Islamiyah tidak lagi dipandang sebagai element yang disegani dalam bidang politik--efek negative dari kondisi ini bagi Tarbiyah Islamiyah ialah tidak adanya Political Power yang dimiliki oleh Tarbiyah Islamiyah, sehingga Tarbiyah Islamiyah dengan sendirinya tidak lagi mempunyai Bargaining Position dalam bidang politik.

Penurunan posisi Tarbiyah Islamiyah di tengah-tengah gemuruh kehidupan aktualnya distimulasi oleh terjadinya Diskomunikasi antara komponen-komponen yang membentuk bangunan Tarbiyah Islamiyah. Secara prinsipil ada tiga komponen yang membentuk bangunan Tarbiyah Islamiyah yaitu: Sekolah, Masyarakat (jama'ah Tarbiyah Islamiyah), dan organisasi Tarbiyah Islamiyah. Komunikasi antar komponen-komponen Tarbiyah Islamiyah ini idealnya diperankan oleh organisasi Tarbiyah Islamiyah secara structural, akan tetapi dalam prakteknya komunikasi ini terputus disebabkan adanya Vested interest (kepentingan) pemimpin organisasi Tarbiyah Islamiyah terhadap sekolah, dan masyarakat. Terputusnya komunikasi ini menyebabkan komponen Tarbiyah Islamiyah tercerai berai dan cenderung berjalan sendiri-sendiri dalam menjalankan perannya masing-masing.

Kalau kita lacak lebih radikal Putusnya komunikasi ini disebabkan oleh terjadinya krisis pada tubuh Tarbiyah Islamiyah, krisis yang dimaksud adalah. Pertama, krisis kepemimpinan. Krisis ini pada dasar disebabkan oleh karakter-karakter pemimpin yang memegang otoritas dalam organisasi Tarbiyah Islamiyah lebih mengutamakan Performance Politik, dibanding aksi untuk melakukan pendampingan dan pengembangan organisasi Tarbiyah Islamiyah menjadi organisasi yang mempunyai akar yang kuat. Di samping itu krisis kepemimpinan yang melanda tubuh organisasi Tarbiyah Islamiyah, aktualnya disebabkan oleh basis pemimpin yang tidak jelas, sehingga secara ril ketidak jelasan ini menyebabkan proses pembusukan-pembusukan di tubuh organisasi Tarbiyah Islamiyah dan pada akhirnya terjadilah Eksploitasi terhadap masyarakat Tarbiyah Islamiyah--masayarakat Tarbiyah Islamiyah selama ini telah dinina bobokan dengan kidung-kidung "Buya Kita, Syekh Kita dan wajib kita besarkan", namun ironis setelah si buya mendapat kursi empuk masyarakat tarbiyah Islamiyah malah dilempar kekeranjang sampah, Kalau seandai pendiri-pendiri tarbiyah Islamiyah ini masih hidup, Inyiak Candung, Inyiak Jaho akan Meludahi muka-muka munafik yang selama ini telah mencari kehidupan di Tarbiyah Islamiyah dan tanpa mau memberikan kehidupan kepada komunitas-Nya.

Aktualnya ikatan sosio-historis yang ada dalam darah pemimpin tarbiyah islmiyah secara hakikinya menjadi batu Tapal pengembangan organisasi Tarbiyah Islamiyah, akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Hal ini diperkuat oleh ketidak jelasan nilai-nilai ideologis yang dimiliki oleh Pemimpin Organisasi Tarbiyah Islamiyah ini. Kedua, Krisis Sumber Daya Manusia, krisis ini merupakan problema yang sangat menghambat Perkembangan dan pertumbuhan organisasi Tarbiyah bahkan berimbas pada dekrementasi harkat dan martabat masyarakat Tarbiyah Islamiyah dimata organisasi dan masyarakat lain. Secara gamblang kita bisa melihat Generasi-generasi muda Tarbiyah Islamiyah hampir tidak mendapat tempat dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini disebabkan Potensi-potensi yang dimilikinya tidak bisa menembus persaingan global yang kian sengit dan alot. Dekrementasi kapasitas intelektual pada generasi-generasi Tarbiyah Islamiyah didorong oleh ketidak jelasan Orientasi yang diproduksi oleh institusi-institusi pendidikan Tarbiyah Islamiyah. Sebagai Parameter yang menunjukan terjadinya Dekrementasi sumber daya manusia ini ialah Sekolah (MTI) sekarang tidak lagi mampu memproduksi santri-santri yang mampu membaca kitab gundul, ini adalah realitas yang membatu dalam napas kehidupan Tarbiyah Islamiyah.

Krisis-krisis di atas terus mengerogoti tubuh organisasi Tarbiyah Islamiyah dan krisis ini telah menyebabkan sendi-sendi kehidupan dalam komunitas Tarbiyah Islamiyah roboh seiring merajalelanya Sikap Simulacrum Politik (politik kepalsuan) yang didedahkan oleh pemimpin-pemimpin Tarbiyah Islamiyah. Diluar sana rilnya masih Banyak yang ingin berbicara, mengutuk sikap Political Simulacrum yang dipertontonkan oleh pemimpin Tarbiyah Islamiyah, hal ini mendapat momentum-nya pada Musda persatuan tarbiyah islmiyah yang akan digelar pada tanggal 4-7 Mei mendatang, agar telinga-telinga dan mata-mata malas yang selama ini telah dilelapkan oleh Atmosfer Hipokrasi mampu bangkit dan melakukan Koreksi secara fundamental terhadap organisasi Tarbiyah Islamiyah, Allahu A'lamu

Monday, April 16, 2007

HOLOCAUST PENDIDIKAN BERBASIS KEKERASAN

HOLOCAUST PENDIDIKAN BERBASIS KEKERASAN

Oleh: Muhammad Sholihin

(Kabid. PA- HMI Komisariat Syari'ah IAIN "IB")

Kemegahan dan kekaguman akan IPDN, sontak saja Sirna setelah kasus kematian Cliff Muntu Tersikap sebagai tumbal pendidikan berbasis kekerasan. mulut-mulut yang awal-nya berdecak kagum seketika berubah menjadi sumpah serapah yang seolah-olah siap memamah IPDN secara membabi Buta. Begitu besar Holocaust pendidikan berbasis kekerasan yang diproduksi oleh IPDN. Ini semua Telah menyeret bangsa ini kedalam kegalauan yang cukup akut.

Sejarah IPDN adalah potret gelap sejarah pendidikan Indonesia. kekerasan yang diproduksi oleh Praja-praja IPDN telah membawa institusi ini menjadi ikon kekerasan dalam bidang pendidikan di Tanah Air. IPDN yang dalam khittah-Nya sebagai sebuah institusi pendidikan yang memproduksi birokrat-birokrat yang akan menjadi pelayan rakyat serta memberikan ketauladanan bagi khalayak ramai, dimana figur yang moralis dan populis idealnya merupakan figur yang dilahirkan dari IPDN. Namun dalam prakteknya IPDN hanya memproduksi figur-figur yang jauh dari ketauladanan, hal ini dipahami dari kasus demi kasus kekerasan ditampilkan dengan vulgar dimata public oleh IPDN--kasus kematian Cliff Muntu, Wahyu Hidayat dan kasus-kasus kematian mahasiswa IPDN yang disebabkan kekerasan praja-praja senior lainnya merupakan tanda bahwa IPDN telah menjadi mesin produksi kekerasan di bidang pendidikan di tanah air, walaupun kasus ini merupakan fakta parsial, akan tetapi kasus kekerasan yang terjadi di IPDN telah menjadi fakta yang menyeret IPDN sebagai institusi yang menjadi ikon kekerasan dalam bidang pendidikan di tanah air.

Inu Kencana sebagai seorang dosen yang idealis telah membuka tabir-tabir holocaust IPDN ke ranah publik. Dalam laporan Inu Kencana ke Publik terdapat 35 kasus kekerasan yang menyebatkan kematian di IPDN, akan tetapi hanya 10 Kasus yang tercatat sebagai kasus kematian yang disebabkan oleh kekerasan yang telah mengkultur di IPDN ini. Kekerasan-kekerasan yang terjadi di IPDN telah menjadi kultur yang semi legal, hal dapat di pahami dari perilaku elit yang seolah-olah menyembunyikan borok-borok kekerasan yang berlansung di IPDN. Apakah yang mendorong kekerasan di IPDN sehingga langgeng dalam tubuh institusi ini?.

Melacak Logika Kekerasan di IPDN

Kalau kita Elaborasi akar dari kekerasan yang terjadi d IPDN, aktualnya berawal dari logika yang cukup sederhana "praja IPDN adalah calon-calon birokrat yang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Mereka adalah kader-kader yang harus disiplin dalam bertugas" logika ini diekspresikan dalam bentuk tindakan Edukasi berbasis kekerasan. Agar calon-calon praja ini tetap disiplin, maka senior-senior memformulasi logika-logika kekerasan dalam bentuk Ereksi kekerasan phisik.

Kalau kita lacak lebih radikal aksi-aksi kekerasan yang berlansung di IPDN dapat digolongkan kepada kekerasan lansung (Direct Violence). Jamil Salmi dalam bukunya " kapitalisme dan kekerasan" mendefenisikan kekerasan lansung dengan tindakan yang menyerang fisik atau psikologis seseorang secara lansung. Kekerasan yang dilakukan oleh praja-praja senior di IPDN berlasung dalam Bentuk kekerasan yang menyerang phisik dan psikologis. Kekerasan phisik dalam bentuk pukulan-pukulan yang diarahkan pada bagian-bagian vital praja-praja junior, hulu hati, kelamin, kepala menjadi sasaran empuk pukulan-pukulan praja senior. Sedangkan kekerasan dalam bentuk Psikologis berbentuk bentakan, menyerang Mentalitas dengan memberitakan berita pertakut seperti akan dikeluarkan dari IPDN. Kedua kekerasan ini pada dasar-nya ditujukan untuk membentuk perilaku disiplin pada diri praja-praja junior. Apakah untuk melembagakan kedisiplinan hanya kekerasan sebagai metode jitu? Jawaban jelas tidak masih Banyak pilihan metode lainnya dalam melembagakan sikap disiplin dalam pribadi-pribadi praja.

Kekerasan sangat erat hubungan-nya dengan perilaku Destruktif. Dimana kekerasan merupakan sebuah bahasa yang digunakan untuk melakukan proses destruktif, sebagaimana Halnya Hitler melakukan Genosida (Genoicide) yang ditujukan untuk mendestruktifkan keadaan perlawanan Ras lain terhadap kekusaan politik yang sedang di kuasai oleh Hitler. Dalam kontek ini Erich Fromm dalam Bukunya "The Anatomy Of Human Destructiveness" Mengeksplorasi sebuah Terminologi yang mengacu pada kekerasan destruktif. Dan Fromm menyebutnya dengan Vengeful Destructiveness (destruktif kesumat) term ini mengacu pada reaksi kekerasan spontan terhadap siksaan yang dialami oleh seseorang atau kelompok. Secara ril Ada dua kareakter pada Vengeful Destructiveness. Pertama, ia terjadi setelah dilakukannya tindakan yang merugikan dan dengan demikian ia bukanlah upaya untuk mempertahankan diri dari anacaman yang membahayakan. Kedua,intensitasnya lebih tinggi dan merupakan kekejaman atau kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu yang tiada habisnya. Sifat ini juga diistilahkan sebagai sifat "haus dendam".

Kekerasan yang terjadi di IPDN merupakan sebuah Reaksi yang ditimbulkan oleh pelembagaan kedipsilinan dengan metode kekerasan dan kekerasan ini terus dilaksanakan dengan memakai metode mata rantai "Senior-Junior" dan ini terus berlansung secara Talsalsul (Tanpa Henti). Dalam kondisi ini kekerasan-demi kekerasan adalah aksi dendam yang ditimbulkan oleh senior-senior yang telah memperlakukan junior-junior mereka secara tidak manusiawi, makanya ketika mereka menjadi senior mereka akan melakukan hal yang sama terhadap junior-junior mereka. Kekerasan yang terjadi di IPDN tanpa disadari telah berubah menjadi kekerasan sistemik. Kekerasan sistemik di IPDN secara aktualnya telah menjadi kultur dan dilakukan serapi mungkin dan telah memiliki akar-akar yang sulit ditembus dengan Reaksi sterilisasi.

Holocaust Pendidikan Berbasis Kekerasan

Kemegahan dan kekaguman akan IPDN, sontak saja Sirna setelah kasus kematian Cliff Muntu Tersikap sebagai tumbal pendidikan berbasis kekerasan. mulut-mulut yang awal-nya berdecak kagum seketika berubah menjadi sumpah serapah yang seolah-olah siap memamah IPDN secara membabi Buta. Begitu besar Holocaust pendidikan berbasis kekerasan yang diproduksi oleh IPDN. Ini semua Telah menyeret bangsa ini kedalam kegalauan yang cukup akut.

Pendidikan yang didirikan atas pondasi transformasi kekerasan yang dilembagakan di IPDN telah menjadi Holocaust yang mendorong timbulnya sumpah serapah dari berbagai kalangan di Tanah Air. Mulai dari kalangan elit sampai Murid Taman Kanak terdorong Mecaci dan menyumpahi proses transformasi kekerasan di IPDN. Reaksi dan isomasi muncul sebagai sebuah respon terhadap holocaust yang timbul oleh proses transformasi di IPDN ini.

Tuntutan perombakan sampai dengan tuntutan Pembubaran IPDN yang memakan APBN 4 kali lebih besar dari Anggaran untuk Universitas negeri lain-Nya. Holocaust yang ditimbulkan oleh IPDN ini telah mejadikan pendidikan tinggi kedinasan sebagai potret buram pendidikan kedinasan. Tawaran-tawaran mengalir dari berbagai pakar sebagai sebuah penawar racun-racun kekerasan yang telah dilembagakan di IPDN. Perombakan Fundamental dengan memutus satu Generasi menjadi pilihan President Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan revolusi kultur kekerasan di IPDN ini. Bahkan dari kepala-kepala daerah meminta IPDN dikembalikan kedalam bentuk awalnya "desentralisasi lokasi pendidikan" yang bertempat di daerah-daerah, lahir sebagai bentuk reaksi dari holocaust proses transformasi berbasiskan kekerasan di IPDN. Sebuah Teori yang relevan untuk dijadikan pertimbangan dalam mengimplemtasikan kebijakan yang diarahkan untuk mengikis akar-akar kekerasan di IPDN "Budaya akan mengalami proses perubahan, jika datang Budaya lain yang lebih kuat". Artinya bahwa kekerasan yang terjadi di PDN adalah Budaya dan akan berubah jika terjadi isolosi terhadap Budaya kekerasan tersebut■

Friday, April 13, 2007

Garis Panduan Mengenai Kritikan Terhadap Ekonomi Politik

Garis Panduan Mengenai Kritikan Terhadap Ekonomi Politik

Oleh Frederick Engels




Akibat terus-menerus daripada harta swasta adalah perdagangan – pertukaran keperluan-keperluan secara bertimbal balik – pembelian dan penjualan. Perdagangan ini, seperti setiap aktiviti lain, mesti di bawah penguasaan harta swasta menjadi sumber keuntungan secara langsung bagi pedagang; iaitu, setiap pedagang mesti menjual dengan harga yang paling tinggi yang dapat dan membeli dengan paling murah yang dapat. Maka, dalam setiap pembelian dan penjualan, dua orang dengan kepentingan yang bertentangan secara diametrik berhadapan dengan satu sama lain. Penghadapan ini adalah bersifat bertentangan, kerana mereka menyedari hasrat satu sama lain – menyedari bahawa hasrat mereka adalah bertentangan. Maka, akibat pertama adalah rasa ketidak-yakinan bersama, dalam satu tangan, dan kemunasabahan ketidak-yakinan ini – pengamalan cara-cara tanpa moral untuk mencapai hasil tidak bermoral – dalam tangan sebelah. Maka, maksim pertama dalam perdagangan adalah kerahsiaan – penyembunyian segala yang mungkin mengurangkan nilai barangan dalam pertikaian. Hasilnya adalah bahawa perdagangan dibenarkan mengambil kesempatan dari kejahilan, keyakinan, pihak bertentangan, dan sedemikian memasukkan kualiti-kualiti ke dalam komoditi seseorang itu yang sebenarnya tidak dipegang oleh komoditi itu. Pendek kata, perdagangan adalah pemalsuan sah. Mana-mana pedagang yang ingin mengutamakan kebenaran mungkin menjadikan saya saksi bahawa amalan sebenar adalah serupa dengan teori ini.

Sistem merkantil masih mempunyai ciri-ciri Katolik tanpa seni dan sama sekali tidak menyembunyikan sifat perdagangan tanpa moral. Kita telah menyaksikan bagaimana ia mempersembahkan ketamakannya secara terbuka. Sikap bermusuh negara-negara dalam abad kelapan-belas, sikap iri hati ganas dan kecemburuan perdagangan, merupakan akibat-akibat logik perdagangan seperti itu. Pendapat awam belum lagi diberi pandangan keperimanusiaan. Maka, mengapakah menyembunyikan benda-benda yang dihasilkan oleh sifat tidak berperikemanusiaan, ganas, perdagangan sendiri?

Tetapi apabila Luther ekonomi, iaitu Adam Smith, mengkritik ekonomi silam, perihal telah berubah secara mendadak. Abad itu telah diberikan pandangan keperimanusiaan; kewarasan telah menekan dirinya, kemoralan telah menuntut hak abadinya. Perjanjian-perjanjian perdagangan yang diperas, peperangan-peperangan komersil, pemulauan negara-negara dengan tegas, terlalu menyakitkan kesedaran maju. Hipokrasi Protestan menggantikan tempat keanehan Katolik. Smith membuktikan bahawa umat manusia, juga, terbenam dalam sifat perdagangan; bahawa perdagangan mesti menjadi “di antara negara, seperti di kalangan individu, ikatan perpaduan dan persahabatan” dan bukannya menjadi “sumber yang paling subur bagi perselisihan dan permusuhan” (rujuk kepada Kekayaan Negara-Negara, Buku 4, Bab 3, Bahagian 2); bahawa akhirnya ia terletak dalam sifat benda-benda bagi perdagangan, diambil secara menyeluruh, untuk membawa faedah bagi kesemua pihak yang terlibat.

Smith memang betul untuk menyanjung perdagangan sebagai berperikemanusian. Tidak terdapat apa-apa yang tidak bermoral sepenuhnya di dunia. Perdagangan, juga, mempunyai sesuatu aspek di mana ia memberi kehormatan kepada kemoralan dan umat manusia. Tetapi apatah kehormatan! Hukum tangan yang kuat, lebuhraya rompakan terbuka dari Zaman Pertengahan, diberikan pandangan keperimanusiaan apabila ia memasuki perdagangan; dan perdagangan dijadikan berperikemanusiaan apabila tahap pertamanya, yang disifatkan oleh pengharaman pengeksportan duit, memasuki sistem merkantil. Kemudian sistem merkantil sendiri dijadikan berperikemanusiaan. Sememangnya, ia adalah dalam kebaikan pedagang untuk berada dalam hubungan baik dengan orang yang dia membeli dengan murah daripada serta orang yang dia menjual kepada dengan mahal. Maka, sesebuah negara bertindak dengan tidak waras jika ia memupuk perasaan bermusuh di antara pembekal dan pelanggannya. Lebih baik hati, lebih berfaedah. Begitulah keperimanusiaan perdagangan. Dan cara berhipokrasi menggunakan kemoralan untuk matlamat-matlamat tidak bermoral adalah kebanggaan sistem perdagangan bebas. “Bukankah kami telah menumbangkan kezaliman monopoli-monopoli?” menjelaskan pihak hipokrit. “Bukankah kami telah membawa kesaudaraan rakyat, dan mengurangkan jumlah peperangan?” Ya, semua ini anda telah melakukan – tetapi bagaimana! Anda telah menghapuskan monopoli-monopoli kecil agar monopoli asas besar yang tunggal, iaitu harta, dapat berfungsi dengan lebih bebas dan tanpa had. Anda telah menamadunkan setiap pelusuk dunia untuk memenangi kawasan baru demi perkembangan ketamakan menjijik anda. Anda telah membawa kesaudaraan rakyat – tetapi kesaudaraan ini adalah kesaudaraan pencuri. Anda telah mengurangkan jumlah peperangan – untuk meraih keuntungan yang lebih besar dalam kedamaian, untuk meningkatkan sepenuhynya permusuhan di antara individu-individu, iaitu peperangan persaingan keji! Bilakah anda pernah melakukan apa-apa dari keperimanusiaan tulin, dari kesedaran sifat sia-sia tentangan di antara kepentingan umum dan individu? Bilakah anda pernah bersikap bermoral tanpa bersikap mementingkan diri sendiri, tanpa melabuhkan di belakang minda anda motif-motif tidak bermoral lagi egotistik?

Dengan membasmikan kewarganegaraan-kewarganegaraan, sistem ekonomi liberal telah mencuba sedaya upaya untuk meluaskan permusuhan, untuk mengubah umat manusia menjadi sesuatu kumpulan haiwan yang sangat lapar (kerana apatah lagi pesaing-pesaing?) yang memakan satu sama lain hanya kerana setiap satu mempunyai kepentingan yang sama dengan yang lain – selepas usaha persediaan ini, terdapat hanya satu langkah yang perlu diambil sebelum matlamat tersebut dicapai, iaitu pembasmian keluarga. Untuk mencapai ini, penciptaan cantik ekonomi sendiri, sistem perkilangan, datang membantu. Sisa terakhir kepentingan bersama, iaitu masyarakat barangan dalam milik keluarga, telah dilemahkan oleh sistem perkilangan dan – sekurang-kurangnya di sini di England – sudah berada dalam proses pembasmian. Ia adalah amalan biasa bagi kanak-kanak, apabila mereka sudah dapat bekerja (iaitu, apabila mereka mencapai umur sembilan tahun), untuk membelanja gaji mereka dengan sendiri, untuk melihat rumah ibubapa mereka hanyalah sebagai tempat kediaman, dan untuk memberikan kepada ibubapa mereka jumlah tetap bagi makanan dan tempat tinggal. Bagaimanakah ia dapat berlaku sebaliknya? Apakah lagi yang dapat dihasilkan oleh pemisahan kepentingan, seperti yang menjadi dasar bagi sistem perdagangan bebas? Apabila prinsipnya sudah digerakkan, ia berusaha dengan impetusnya sendiri melalui segala akibat-akibatnya, tanpa mengira jika ahli-ahli ekonomi menyukainya atau tidak.

Tetapi ahli ekonomi tidak menyedari sendiri apakah matlamat yang dilayani olehnya. Dia tidak menyedari bahawa dengan segala kewarasan egotistiknya, dia hanya menjadi satu ikatan dalam rantai kemajuan abadi umat manusia. Dia tidak menyedari bahawa dengan pembasmian segala kepentingan kumpulan, dia hanya membuka jalan bagi perubahan termasyhur yang abad ini menuju kepada – pendamaian umat manusia dengan alam dan dengan dirinya sendiri.


Wednesday, April 04, 2007

Demoralisasi Wakil Rakyat

Demoralisasi Wakil Rakyat

Oleh: Khairul Fahmi,

( Pengurus PBHI Wilayah Sumbar )

Bagi bangsa kita, permintaan aneh-aneh yang dibuat wakil rakyat di Senayan tidaklah aneh. Yang aneh, justru kalau wakil rakyat itu berbuat yang tidak aneh. Tidak aneh, kalau mereka setiap ada kesempatan menaikkan gajinya di tengah meningkatnya kemiskinan dan penderitaan rakyat. Tidak aneh juga, ketika wakil rakyat suka pergi jalan-jalan ke sana kemari, pergi acara ini acara itu, walaupun kadang-kadang juga ada fiktif. Juga tidak aneh, kalau wakil rakyat minta laptop seharga Rp 21 juta per unit di tengah bergelimpangannya para pengungsi korban gempa di tenda-tenda yang sungguh tak sehat bagi mereka. Itu sudah menjadi pemandangan biasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri yang amat tercinta ini. Justru aneh, kalau kita yang menyaksikan pemandangan itu merasa heran. Juga aneh, kalau kita marah-marah kepada wakil rakyat itu. Sangat aneh lagi, kalau kita berharap mereka mau kembali para khitah mereka sebagai wakil rakyat. Yang tidak aneh adalah ketika kita biarkan mereka seperti itu, kita biarkan mereka menikmati uang rakyat sesuka hatinya. Memang keterlaluan anggota DPR itu. Laptop yang hanya berharga Rp 21 juta untuk mereka atau staf ahli harus diambilkan dari kas negara. Uang Rp 21 juta belumlah seberapa untuk para wakil rakyat yang ada di Senayan itu. Tapi, penyesalan kita terhadap wakil rakyat ini menjadi sesuatu yang aneh. Tidak lumrah disampaikan kepada wakil rakyat itu. Harus diingat juga, sesuatu yang aneh memang susah diterima di republik ini. Mungkin karena republik ini sudah terlanjur rusak. Sekarang semuanya memang sudah terbalik. Rakyat suka mengerjakan hal-hal yang aneh seperti hidup miskin, makan tanah karena tidak ada beras di Pesisir Selatan, hidup di tenda-tenda pengungsian. Sementara wakil rakyat yang pangkatnya lebih rendah dari rakyat suka melakukan hal-hal yang biasa-biasa saja. Seperti menganggarkan uang ini dan uang itu dalam APBN dan APBD, jalan-jalan kesana kemari memakai uang APBN dan APBD, makan enak di restoran-restoran mewah. Kampanye kapanpun dan dimanapun, tidak peduli apakah dalam kondisi normal atau dalam kondisi rakyat ditimpa musibah. Yang jelas, spanduk untuk kampanye dipajang di dekat tenda-tenda pengungsian masyarakat yang kena musibah. Untuk apa semua itu? Buat apa lagi kalau bukan untuk jadi wakil rakyat periode berikutnya. Pemandangan itu memang bukan sesuatu yang aneh di negeri yang (sekali lagi) amat tercinta ini. Ada anekdot soal siapakah manusia yang paling bersih hatinya? Sebagian orang menjawab, manusia yang paling bersih hatinya adalah para ulama dan kyai, karena merekalah orang-orang yang memberikan nasihat bagi manusia untuk selalu ingat pada Sang Pencipta. Tapi sayang jawaban itu salah. Dijawab lagi oleh sebagian yang lain. Orang yang paling bersih hatinya adalah para guru, karena merekalah yang membawa manusia lain keluar dari kebodohan. Sayangnya jawaban inipun masih salah. Lantas apa jawaban yang benar? Kata sebagian orang, manusia yang paling bersih hatinya adalah pengacara. Kenapa? Karena hatinya tidak pernah dipakai. Hati yang tidak pernah dipakai, tentunya tidak akan kotor. Oleh karena pengacara tidak pernah memakai hatinya, maka dialah yang dinobatkan sebagai orang yang paling bersih hatinya. Di negeri aneh yang tidak aneh ini, bukan hanya pengacara yang dapat dinobatkan sebagai manusia yang paling bersih hatinya, tapi ada manusia lain yang justru lebih bersih lagi hatinya dari pengacara. Peringkat nomor satu orang yang paling bersih hatinya, sekarang sudah berpidah dari pengacara ke manusia lain. Mereka adalah para wakil rakyat yang kita pilih setiap 5 tahun sekali itu. Wakil rakyat inilah yang paling tepat menyandang gelar sebagai manusia yang paling bersih hatinya. Alasannya sama, karena wakil rakyat juga tidak pernah memakai hatinya. Cobalah kita berjalan ke daerah-daerah yang sekarang ditimpa bencana. Tidak usah jauh-jauh, tidak usah pergi ke Yogyakarta, Pangandaran atau Manggarai NTB, daerah kita ini sajalah. Amatilah pemandangan di daerah yang letaknya di pinggir jalan, mudah dijangkau, akses mudah, di sana terpajang ribuan spanduk orang-orang yang katanya wakil rakyat dan hendak jadi wakil rakyat. Lalu amati lagi daerah-daerah pelosok yang susah dijangkau, jalannya buruk, mendaki berbatu-batu lagi. Tidak ada spanduk-spanduk yang bergentayangan itu. Lagi pula penduduknya juga tidak terlalu padat, jadi tidak terlalu signifikan untuk penambahan suara dalam Pemilu. Jelas saja maksudnya adalah melakukan kampanye “perai”. Tapi tidak apa-apa jugalah. Namun yang lebih miris, kita melihatnya adalah bantuan yang diberikan hanya “dua kardus mie”, pasang spanduk, lalu pergi lagi. Mungkin spanduk yang lebih banyak dibanding bantuannya. Ada juga yang datang mengunjungi daerah-daerah kena musibah, yang kerjanya merepotkan semua orang dan memaksa orang untuk melayani kedatangan dia dibanding melayani orang-orang yang nyaris kelaparan di tenda-tenda pengungsian. Tapi ini bukanlah pemandangan yang aneh di negeri yang sangat kita cintai ini. Di tengah kondisi seperti itu, yang namanya wakil rakyat, kita tetap minta dibelikan laptop (walaupun ada juga yang tidak bisa mengoperasikannya). Dimana letak hati para wakil rakyat itu? Sungguh hati mereka sangat bersih karena memang tidak pernah dipakai. Yang peka terhadap kondisi-kondisi kemanusiaan biasanya adalah hati. Oleh karena hati tidak pernah dipakai, maka kepekaan itupun hilang ditelan proses “pembersihan hati” itu sendiri. Kita tidak butuh orang-orang berhati bersih karena tidak pernah dipakai. Kita butuh orang-orang yang hatinya sudah agak sedikit “kumuh”, karena begitu pekanya ia terhadap berbagai kondisi yang menerpa rakyat di negeri ini. Tapi sayangnya, sangat aneh kalau kita dapat wakil rakyat yang hatinya kumuh karena sering dipakai itu. Sebaliknya sangat tidak aneh jika saat ini bergentayangan para wakil rakyat berhati bersih dan entah kapan hati para wakil rakyat itu bisa dimanfaatkan, mungkin setelah kita semua mati kelaparan. Itupun belum pasti. Apa yang terjadi dengan para wakil rakyat kita? Meminjam istilah Mahfud MD, sudah habis teori di gudang untuk menjelaskannya. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mereka? Tanggung jawab kita hanyalah sampai pada tingkat mengingatkan para wakil rakyat itu. Soal mereka mau memakai hatinya atau tidak, itu bukan urusan orang yang menyampaikan. Dalam konteks hubungan bernegara, kita tetap tidak bisa biarkan para wakil rakyat bertindak semaunya. Dalam kondisi rakyat sedang susah, uang rakyat justru dipakai untuk hal-hal yang sifatnya remeh-temeh seperti beli laptop. Walaupun hanya akan menghabiskan APBN sebesar Rp2,1 miliar, tapi itu sudah cukup untuk merekonstruksi 2 hingga 3 kecamatan yang porak-poranda akibat gempa di Sumatera Barat. Mereka benar-benar sudah keterlaluan. Tidak salah jika orang mengatakan bahwa sebagian wakil rakyat itu sudah masuk dalam kondisi keruntuhan moral (walaupun tetap tidak aneh). (***)