Persatuan Tarbiyah Islamiyah;
Doktrin Agama dan Amalan Budaya
Oleh: Muhammad Nasir
Mahasiswa Pascasarjana IAIN IB Padang
“Persatuan Tarbiyah Islamiyah tidak pernah mengajarkan warganya untuk mebakar kumayan ketika akan memulai do’a bersama!” tegas Buya H. Ahmad Khatib Maulana Ali (1915-1993) kepada penulis tujuh belas tahun yang lalu. Pertanyaan ini diajukan ketika penulis masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah. Lazimnya siswa madrasah negeri yang dibesarkan dari berbagai corak amalan keagamaan dan beraneka kultur organisasi keagamaan Islam semisal Tarbiyah Islamiyah, Muhammadiyah, dan sebagainya, pertanyaan seperti itu sering menjadi debat kusir antar sesama pelajar.
Pada saat itu penulis merasa resah dengan debat tidak sehat dan tuduhan yang membabi buta kepada penulis, sebagai anak dari kultur daerah yang mayoritas mengaku berafiliasi dengan Tarbiyah Islamiyah. Tarbiyah Islamiyah atau saudara organisasinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) di kampung penulis tetap disebut PERTI. Lantaran kultur itu, serta merta penulis “dituduh” oleh teman yang non PERTI sebagai anak kolot atau anak-anak kaum tua. Kuno, bid’ah, bahkan -hampir saja- sesat!. Tidak jarang guru-guru penulispun mengatakan demikian. Tetapi meskipun dituduh kolot, penulis masih sempat juga menjadi juara kelas beberapa semester.
Lalu, penulispun mengadu kepada Buya Ahmad Khatib Maulana Ali yang lebih dikenal dengan Inyiak Imam Salo. Beliau ini merupakan murid utama Inyiak Canduang dan generasi pioneer pertama dalam mengembangkan Tarbiyah Islamiyah. Inyiak Imam seterusnya menjelaskan sekilas tentang riwayat amalan agama masyarakat Minangkabau, beberapa budaya masyarakat Minangkabau yang bakulintin pintin dengan pengamalan agama, serta latarbelakang berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Para ulama yang kelak mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah hidup dalam suasana yang demikian itu.
Namun jawaban yang sampai saat ini terus lekat di kepala penulis hingga sekarang adalah; “bialah, ndak usah dipikia bana masalah kumayan tu. Bisuak kalau urang indak manjua kumayan lai, urang Tarbiyah pasti indak mambaka kumayan lai.” Biarkan saja, tidak perlu dipersoalkan. Ada saatnya kumayan tidak dijual lagi, budaya itupun pasti hilang. Jawaban ini sungguh merupakan kearifan dan pembacaan yang cermat terhadap kebudayaan. Inyiak Imam Salo telah mengajarkan kepada penulis metode yang sering disebut orang-orang Teuton sebagai versetehen.
Batas tegas!
Persatuan Tarbiyah Islamiyah didirikan oleh para ulama Minangkabau yang menyebut dirinya Ahl al sunnah wal Jama’ah pada 5 Mei 1928 bertepatan dengan 15 Zulkaidah 1346 H. Tercatat beberapa nama yang ikut mendirikan ormas Islam ini, di antaranya; Syekh Sulaiman al Rasuli (Inyiak Canduang), Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syekh Mohd. Djamil Djaho (Inyiak Djao) Syekh Abd Wahid al Shalihi, Syekh Arifin Arsyad Batu Hampar, Syekh Ahmad Baruh Gunung, Syekh Abd Madjid Koto Nan Gadang, Syekh Djamaluddin Sicincin, Syekh Mohd. Alwi Koto Nan Ampek dan HMS Sulaiman Bulittinggi.
Syekh Ahmad Khatib Maulana Ali di Salo mencatat, kelahiran Persatuan Tarbiyah Islamiyah ini merupakan pertama, reaksi terhadap gerakan pengikut Wahabi di Minangkabau yang terlalu keras berdakwah, hingga tanpa tenggang rasa menghantam kian kemari. Kedua, untuk mempertahankan sesuatu yang dianggap benar. Lebih jauh Inyiak Imam Salo menjelaskan, apabila satu kebenaran berhadapan dengan kebenaran lainnya yang mungkin bernilai sama, maka wajibkah mengikuti sesuatu yang menurut adatnya terlihat baharu? Kalaupun harus terjadi, yang baru diterima sebagai kecendrungan zaman (trend) tanpa harus membatalkan yang lama yang bernilai sama. Ketiga, Tarbiyah Islamiyah merupakan bentuk penerimaan terhadap pola pendidikan modern. Keempat, Tarbiyah Islamiyah sebagai bentuk penolakan yang halus terhadap model ijtihad kaum muda. Kelima, untuk mempertahankan prinsip-prinsip bertaqlid kepada Imam-imam Madzhab yang dianggap berkompeten. Keenam, yang lain dari pada itu hanyalah persoalan politikdan kemasyarakatan saja. (Inyiak Imam Salo, Catatan Pribadi, 1976)
Merujuk catatan Inyiak Imam Salo tersebut, tampak jelas garis pembeda antara persoalan agama (terutama segi amaliyah), politik pemikiran, dan cara pembacaan terhadap situasi sosial pada waktu itu.
Catatan di atas memang dapat diduga sebagai tafsir baru terhadap kelahiran Persatuan Tarbiyah Islamaiyah. Catatan itu ditulis sekitar 48 tahun setelah organisasi itu berdiri. Namun keberadaan beliau sebagai generasi awal Tarbiyah Islamiyah menjadi jaminan tersendiri terhadap mutu tulisan itu. Aroma yang kentara dari catatan Inyiak Imam adalah bahwa kelahiran Tarbiyah Islamiyah tidak lepas dari dinamika politik di Minagkabau pada waktu itu, utamanya politik pemikiran.
Alasan di atas mungkin tidak jauh beda dengan paparan Taufik Abdullah dalam Schools and Politics: The kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1933. Dalam karyanya ini Taufik Abdullah menjabarkan tentang gerakan para pemuda Minangkabau pada tahun akhir tahun 1920-an hingga awal tahun 1930-an yang cendrung melakukan pembaharuan di bidang sosial politik. (Taufik Abdullah, 1971)
Berdasarkan paparan di atas, Tarbiyah Islamiyah yang dulu (1928-1932) sempat bernama Pendidikan Islam Indonesia perlu menarik garis tegas antara persoalan yang berkaitan dengan amalan budaya dan amalan agama. Hal ini perlu dilakukan agar salah pengertian terhadap Tarbiyah Islamiyah dapat direduksi.
Selama ini, warga Tarbiyah Islamiyah sangat erat dengan image qunut shubuh, talqin mayyit, zikir berjama’ah, men-jahar basmalah dalam shalat, termasuk mambaka kumayan sebagaimana disinggung di awal tulisan ini. Seolah-olah kerja orang-orang Tarbiyah Islamiyah itu ke itu saja. Artinya sangat penting mendesak memberikan penjelasan bahwa Tarbiyah Islamiyah bukanlah sebagaimana merek dagang di atas. Padahal persoalan di atas adalah wilayah yang masih bisa digaris tengah dan dibedakan antara budaya dan agama. lambat laun yang namanya budaya pasti silam (lenyap menjadi masa lalu).
Lebih penting dari merek dagang di atas, bahwa Tarbiyah Islamiyah mempunyai trade mark Pendidikan-Dakwah dan Sosial. Tiga amalan utama itu dapat lebih lanjut menukar pangana orang bayak, bahwa selain Qunut Subuh dan membaca Sayyidina, Tarbiyah Islamiyah punya brand image lebih baik, tidak kalah dari membakar kumayan.
Haqqul yaqin, kesejahteraan, kemajuan dan kejayaan umat tidak terkait langsung dengan organisasi kemasyarakatan Islam. Faktanya, warga Muhammadiyah ada yang kaya dan berpikir maju, namun ada juga yang miskin dan berpikir kolot. Warga Tarbiyah Islamiyah begitu juga. Persoalan kemajuan sangat erat kaitannya dengan kerja keras dan kemauan yang kuat untuk belajar dalam mengatasi tantangan. 79 tahun usia Tarbiyah Islamiyah, masih terlalu muda untuk berhenti. Selamat! (Padang, 26/04/2007 23:39)
No comments:
Post a Comment