BERALIH KEPADA PASAR TRADISIONAL
Oleh: Muhammad Sholihin
(Kabid. PA-HMI Komisariat Syari'ah)
"Seni Baru Dalam Hidup, Cara Baru Dalam Hidup, Kata Iklan, Keseharian Dalam Perdagangan, Dapat Membuat Berbelanja Terasa Nyaman Dalam Ruangan Ber-Ac, Memberi Kebutuhan Sehari-Hari Sekali Saja (Selama Satu Bulan), Barang-Barang Untuk Apartemen Dan Villa, Pakaian Bunga, Roman Terbaru Atau Roman Amerika, Sementara Suami Dan Anak-Anak Menonton Film, Makan Malam Bersama Dan Lain-Lain"
(Jean Paul Baudrillard)
Baudrillard telah mengambarkan dengan utuh tentang realitas di Drugstore, Super market ataupun Mall. Dimana realitas yang ada di pasar modern adalah realitas yang Dikonstruksi (dibentuk) berdasarkan Vested Interest (kepentingan) dari para pedagang di pasar modern. Dalam kondisi ini doktrin "Invisible Hand" Adam Smith telah mengalami kematian, aktualnya demand dan suplly tidak dibentuk berdasarkan kekuatan pasar, namun Demand dan suplly dibentuk oleh kekuatan permainan yang dioperasionalkan di pasar modern, seperti Desain Ruangan di Mall yang membuat konsumen tetap betah berlama-lama di Supermarket, ataupun menyediakan hiburan-hiburan, seperti Musik Dan acara Talk Show dengan Selebritis, realitas ini adalah realitas yang dibentuk untuk membuat konsumen tetap berlama-lama di pasar modern.
Fakta telah mengkondisikan manusia-manusia modern untuk tampil semodern mungkin dan menjadi seorang modern adalah "kenyamanan jiwa", paradigma inil terus tumbuh dan bermutasi dalam semua aspek kehidupan manusia, dalam aspek Pendidikan berbentuk slogan "pendidikan modern", dalam Aspek ekonomi berbentuk " magnitude pasar modern dan konsumerisme". Kondisi ini merupakan Syndrom Modernitas yang telah menjadikan simbol-simbol tradisional kian terpojok dan akhirnya mati dalam penjara modernitas. Dalam konteks ini pasar modern telah membentuk manusia-manusia Postkultural, dimana Budaya yang diminati dan diekspresikan oleh pengagum pasar modern dan pada dasarnya telah melewati Budaya itu sendiri serta kosong dari makna. Sehingga Simbol-simbol Budaya yang ada di pasar modern semata wayang adalah simbol yang kosong dari makna.
Golongan Pesimisme melihat Pasar Modern adalah sebuah realitas yang mendorong terjadinya eksternalitas negative bagi kultur lokal. Dalam konteks ini pasar modern menjadikan Komoditas yang ada didalamnya sebagai "idolisasi"--pemujaan terhadap penampilan, pemunjaan terhadap style, ini adalah impuls-impuls yang didedahkan oleh pasar modern. Sedangkan solidaritas, tawar-menawar yang merupakan Social Capital dalam pasar di buang pada pasar modern.
Dalam Persfektif Ekonomi Material pasar modern adalah salah satu piranti ataupun simbol pembangunan ekonomi, dimana tenaga kerja, pajak disemaikan secara intens pada pasar modern. Namun Kalau dianalisis dengan Teori Konflik borok-borok dari pasar modern akan dapat dihidangkan. Ini berpangkal dari pertanyaan, Siapa yang mengkonstruksi?untuk apa Mengkonstruksi dan siapa yang Diuntungkan dalam siklus pasar modern?. Bertitik tolak dari teori Konflik, Dahrendorf mendeskripsikan hanya ada dua golongan dalam analisis konflik, yaitu orang yang berkuasa dan orang yang menguasai. Kalau dihubungkan dengan pasar Modern, maka orang yang berkuasa adalah pemilik Modal (pedagang), sedangkan orang yang dikuasai adalah konsumen, pedagang dalam prakteknya adalah orang yang diutungkan dari proses permainan yang dioperasionalkan pada pasar modern.
Namun berbeda dengan kasus antara kapitalis dan proletar. Kasus antara pedagang dan konsumen di pasar modern Tersublimasi dari hubungan pengkonstruksian simbol-simbol dengan penerimaan simbol tersebut sebagai sebuah kenyataan yang dikonsumsi. Sebutlah pedagang menciptakan hiburan, mendesain ruang untuk menciptakan sebuah kenyamanan di super market, inilah adalah simbol yang diproduksi dan kemudian dikonsumsi oleh konsumen. Jadi dalam konteks inilah aktualnya eksploitasi konsumen oleh pedagang terjadi--melalui penciptaan realitas yang kosong (fantasme). Pada fase berikutnya konsumen akan terasing dari dunia-nya sendiri, Budaya yang mengalir dalam darahnya perlahan-lahan akan tergantikan oleh Budaya yang dikonstruksi oleh Super Market, sebutlah Budaya Populer, konsumerisme adalah Budaya yang merampas Budaya-budaya asli para konsumen.
Beralih kepada Pasar Tradisional
Setelah memaparkan dilemma yang membatu di pasar modern, maka pertanyaan yang muncul adalah, adakah jalan untuk keluar dari dilemma tersebut? Jawaban dari pertanyaan ini bersipat Romantisasi yang muncul dari membaca dan memaknai kembali kearifan Budaya lama yang saat ini telah mengalami pergeseran makna. Disimpulkan pasar tradisional yang hari ini mulai hilang dari siklus kehidupan masyarakat modern di kota-kota besar.
Ada hal yang unik pada pasar tradisional yang tidak dimiliki dalam siklus pasar modern. Pada pasar tradisional akan ditemukan apa yang disebut dengan "jaringan-jaringan sosial", jaringan sosial dimaknai sebagai sebuah pertimbangan dalam pembentukan harga ataupun sebagai pertimbangan dalam memberikan tips oleh pedagang pada pasar tradisional yang bahan bakunya adalah Client yang terdiri dari suku, ataupun kesetian konsumen untuk tetap berlanganan.
Pada Pasar Tradisional harga dimaknai sebagai sesuatu yang fleksibel dan determinant terhadap konteks sosial antara pedagang dan konsumen. Di sisi lain pasar tradisional bisa menjadi sebuah Ekowisata dan menjadi ikon satu daerah, seperti pasar yang sampai saat ini masih menjadi penopang ekonomi Kota Solo yakni Pasar Klewer, Pasar Legi, dan Pasar Gede.
Kalau dikaji secara sosio-ekonomi, pasar tradisional adalah manifestasi dari system ekonomi rakyat. Dimana pasar tradisional dimaknai sebagai wadah bertemunya masyarakat yang memiliki Budaya yang homogen, kemudian dipertemukan oleh kepentingan ekonomi. Maka kondisi ini akan mendorong lahirnya moral ekonomi dan pola interaksi yang determinan dengan Budaya yang dipersepsikan oleh masyarakat. Disisi ekonomi material, pasar tradisional akan memberikan sumbangan APBD yang cukup siknifikan jika pasar tradisional dikemas oleh pemerintah dengan cara ekonomis. Maka Pemerintah idealnya harus berani melakukan ikonisasi pasar tradisional sebagai lalu lintas Budaya serta menjadika-Nya sebagai sosialisasi terhadap Budaya lokal. Hal ini dapat ditempuh dengan pegelaran Budaya di pasar tradisional.
Dilemma yang membatu pada pasar modern, mengharuskan pemerintah kota melakukan lompatan-lompatan untuk memberdayakan dan mengembangkan pasar tradisional sebagai gerakkan kultural Ekonomi. Maka moment "Beralih kepada Pasar Tradisional", akan menemukan momentumnya dalam kenestapaan manusia modern yang kian mabuk memaknai modernitas, jika ini tidak diamputasi pada akhirnya akan menyatu dalam kriminalisasi Budaya. Dalam kondisi ini Pasar tradisional adalah langkah konkrit untuk membangun pasar yang berbasis kultural yang selamat dari eksternalitas negative pasar■
No comments:
Post a Comment