teroueskan membina tabijah islamijah ini sesoai dengan peladjaran yang koe berikan(syekh sulaiman ar-rasully)

Sunday, January 18, 2009

KAMPUS DAN EKSTASI KEKERASAN

Oleh: Nurus Shalihin Djamra

(Direktur Litbang Nagari Institute)

Kekerasan dan agresivitas bukanlah tindakan yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bagian dari suatu sindrom. Ia merupakan bagian dari sebuah sistem yang memungkinkannya terjadi, baik oleh dominasi berlebihan, birokrasi kaku, kelas-kelas sosial.

(Erich fromm: 1973)

Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada selasa (03/12/08) Sumatera Barat terhenyak oleh berita perkelahian atau tawuran antara dua kubu mahasiswa di kampus IAIN “IB”-Padang, yang kata banyak orang adalah kampus Islami tapi kenyataannya amat berseberangan. Digambarkan; Suasana pukul 18.30 saat itu sempat mencekam, karena satu kelompok mahasiswa yang berada di luar kampus melakukan koordinasi sambil menunggu rekan-rekan lainnya, seolah akan terjadi perang hebat. Benar saja, tawuran tidak dapat dihindari sebagai akibat pemukulan, dan pelecehan yang sebelum telah terjadi terhadap salah satu kubu. Jauh sebelum kekerasan di IAIN, kekerasan, baik dalam bentuk tawuran, perkelahian telah mengeruyak di kampus-kampus di Indonesia, kekerasan di kampus ini telah mengoyak institusi perguruan tinggi sebagai fabricated bagi kaum intelektual dan moralis.

Kekerasan yang mengeruyak di kampus-kampus di nusantara dilatari oleh berbagai faktor, minsalnya di IAIN “IB”-Padang, dan di UNP (Universitas Negeri Padang) tawuran dan perkelahian antar mahasiswa disebabkan oleh pelecehan terhadap satu kelompok, kemudian ditimpali dengan tindakan kekerasan oleh kubu yang dilecehkan. Namun lain lagi dengan kekerasan dan kerusuhan yang terjadi pada kampus ISI Denpasar (18/9/08), sebagaimana yang dilansir oleh Detik.com bahwa kisruh yang berbuntut kekerasan ini dipicu oleh politisasi pada saat Pilrek. Dalam bentuk lain, Bentrok antar mahasiswa kembali terjadi di Universitas Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 17 November lalu. Terik matahari seolah menjadi saksi atas insiden yang melibatkan mahasiswa fakultas hukum dan mahasiswa Politeknik Negeri Kupang. Ketegangan dua kelompok mahasiswa itu dipicu saling ejek yang bermuara pada salah paham. Emosi akhirnya memuncak dan berujung pada tawuran. Ketika itu mahasiswa teknik dipukul mundur. Situasi semakin panas saat mahasiswa teknik balik menyerang. Perang batu pun tak terhindarkan. Sementara aksi saling serang terjadi silih berganti (liputan6.com: 30/11/08). Beberapa kasus ini setidaknya cukup untuk menjadi fakta betapa kini kampus telah berubah menjadi persemaian kekerasan jenis baru. Kenapa?

Memahami trend kekerasan di kampus, agaknya tidak semudah memahami kekerasan dalam rahah publik lainnya. Ini terletak pada kompleksitas yang menyebabkan kekerasan di kampus. Apalagi kekerasan di kampus bukan hal biasa dan tidak lumrah. Hal ini disebabkan citra yang terlanjur dilekatkan pada kampus sebagai ruang sosial yang semestinya menjadi subjek moral melalui agen-agen moralis yang diproduksi di kampus. Namun kini, seiring merebaknya kekerasan di kampus, dunia perguruan tinggi kian tersudut, tergelepar tak berdaya dalam “sanksian” masyarakat—seolah pergurun tinggi tengah dirudung “kegagalan” hebat.

Medan Baru Kekerasan

Kekerasan di kampus telah menjadi ekstasi jenis baru bagi pelaku kekerasan. Karenanya, kekerasan itu berulang, bermutasi, dan menjangkiti kampus lainnya. Dalam konteks ini, tidak berlebihan jika Erich Fromm memaknai kekerasan sebagai sebuah sindrom dan seketika menyebar dan menghancurkan sendi-sendi sosial. Kekerasan sesungguhnya tidak tunggal, Ia merupakan bagian dari sebuah sistem yang memungkinkannya terjadi, baik oleh dominasi berlebihan, birokrasi kaku, kelas-kelas sosial. Ini lebih dekat disebut sebagai faktor sosial-kultural yang menyebabkan kekerasan.

Dalam bentuk yang lain, kekerasan juga disebabkan oleh faktor subjektif, yang diistilahkan oleh Erich Fromm dengan “trance”. Trance ini merupakan kondisi mental dan spritual yang mencapai keadaan puncak tatkala jiwa secara tiba-tiba naik menuju tingkat pengalaman yang jauh melampaui kenyataan sehari-hari, sehingga mencapai puncak kemampuan diri dan kebahagian yang luar biasa, diiringi oleh trance dan kemudian pencerahan kala inilah seorang individu mengalami ekstasi personal dan bahkan komunal. Dalam ekstasi ini orang tidak lagi mengenal dirinya. Ia sama sekali menjadi yang lain. Ada kekuatan lain yang mengendalikannya. Ia tidak lagi menjadi dirinya ketika menikmati ‘ekstasi’, termasuk ekstasi penghancuran.

Kekerasan adalah hal yang amat kompleks. Hal ini setidaknya disebabkan oleh kompleksitas faktor yang menyebabkan tindakan kekerasan. Karena itu, untuk memahami kekerasan “kita” mesti mengindentifikasi kompleksitas gesture sosial yang ada disekitar kekerasan berlansung. Berkenaan dengan ini, John Gunn di dalam Violence In Human Society mengutarakan bahwa bencana krisis kemanusian di dalam sebuah masyarakat terjadi bila ikatan positif atau perekat telah hancur hingga berbutut pada kekerasan dan membentuk piramida korban. Dalam locus inilah, kekerasan di kampus menarik untuk dianalisis.

Jika ditarik ke belakang, kekerasan di Indonesia telah membawa bangsa ini kedalam batas-batas irrasionalitas tindakan, entah itu sebagai reaksi dari dominasi ataupun kelas sosial—seolah “kita” sedang diserang oleh gejala sentimental akut yang amat destruktif melalui kekerasan. Ini telah melampaui apa yang selama ini disebut sebagai wilayah kebangsaan, moralitas, cinta, dan persahabatan.

Kita semakin gagap ketika kekerasan dalam tubuh bangsa ini menjalar liar, hingga menjamahi wilayah yang sarat dengan moralitas yaitu dunia pendidikan. Kengerian bercampur aduk dengan kemirisan tatkala menatap dunia pendidikan “kita” hari ini. Jika dalam rimba politik kekerasan menjadi hal rasional, tapi tentu tidak rasional dalam dunia pendidikan. Namun kini, dengan parade kekerasan, entah berbentuk penyiksaan, pelecehan, perkelahian massal—membuat dunia pendidikan, terutama kampus berada dalam wilayah abu-abu; sebagai sphere untuk kaum moralis sekaligus menjadi ranah, ruang baru berjangkitnya tindakan kekerasan jenis baru.

Akankah sama dunia pendidikan “kita” saat ini dengan dunia politik? Di mana, di kampus telah kian kacau, karena di dunia ini kian berseliweran nilai-nilai, kekuatan yang mampu membuat aktor pendidikan lupa diri, lupa identitas dan lupa merawat eksistensialis-Nya. Dunia politik saat ini tak disangah oleh banyak orang sebagai dunia “kacau”, dunia penuh intrik, dunia dimana menjadi ruang bagi kebencian, kesumat—semuanya diarahkan pada satu puncak, yaitu kekuasaan. Tapi mungkinkah dengan parade kekerasan, dunia kampus sebagai “ikon” pendidikan juga mengalami kekacauan yang sama hebatnya dengan dunia politik “kita” saat ini. Dalam bahasa eksistensialis, betapa masyarakat kampus tidak lagi mampu merawat hidup dan eksistensi. Mereka membiarkan hidup dalam kondisi ketidakterawatan. Semua energi ditujukan hanya untuk merawat puncak-puncak kebahagian semata, hingga ikatan-ikatan digantikan dengan dominasi, saling tumpang tindih. Para dosen saling berebut mangsa melalui eksploitasi terhadap para mahasiswa dan mahasiswa pun diposisikan sebagai mesin, tak lebih. Dalam ujung yang lain, mahasiswa pun sibuk membangun citra diri yang sepenuhnya amat narsistik. Demikiankah?

Kekerasan di kampus makin menguratkan betapa perkembangan masyarakat Indonesia, setidaknya berapa dekade belakangan ini—dibanyangi oleh perubahan sosial yang cukup hebat. Di mana pergerakan masyarakat dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain. Dari kondisi “ekstasi” politik yang hanyut dalam heroik pencitraan, persaingan darwinian bergerak dan bermutasi dalam “ekstasi kekerasan” ke dalam dunia pendidikan. Benang merah yang dapat di utarakan dari kondisi ini, dunia pendidikan sedang dalam sengkarut kekakuan, egosentrisme kekuasaan. Hingga tak ada lagi ikatan-ikatan yang dapat mempertahankan emosional dalam dunia kampus. Alhasil, dunia pendidikan sedang berada pada tahap kehancuran karena didorong oleh transisi values sistemik yang mengendap dalam diri dan setiap aktor dalam kampus.

Sengaja Andre Gorz membangun asumsi dan ternyata benar, bahwa dunia pendidikan saat ini masih berkutat dalam pendidikan borjuis. Karenanya tidak berlebihan jika dalam kampus dominasi, kekakuan birokrasi masih membatu. Akibatnya, pendidikan hari ini hanya mampu melahirkan kultur “ensiklopedik” yang dirancang melahirkan manusia mekanik untuk memenuhi kebutuhan pasar industri. Karenanya, masyarakat kampus adalah manusia kosong dan amat rapuh jika dihantam oleh badai ekstasi kekerasan, dan dominasi—hingga dalam merespon “kekakuan” dan “dominasi” hanya mampu diekspresikan dengan amukan dan agresivitas. Jika, stakeholders pendidikan tidak menyadari gejala ini, maka akan semakin tenggelamlah dunia kampus, dan pedidikan lainnya dalam ekstasi penghacuran, dan kehancuran—semuanya hanya sebatas menikmati realitas yang kosong dan ketakbermaknaan. Semoga tidak!.▪

2 comments:

Anonymous said...

juli ishaq putra

Teater Politik yang Memuakkan

Oleh : Juli Ishaq Putra
Alumni MTI Canduang 08
Mahasiswa Jur.Sosiologi FISIP Universitas Andalas

Pada suatu pagi terlihat seorang mahasiswa sedang khidmat membaca berita disebuah surat kabar lokal, calon pemimpin bangsa tersebut tersungut dan sesekali tersenyum membaca sebuah tulisan. Tulisan tersebut berisi kritikan dari penulisnaya kepada beberapa partai politik dan elite politik serta visi dan misi masing-masing. Penulisnya mengkritisi kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh partai dan elite politik tersebut dalam hal mengkampanyekan diri agar terpilih dalam pileg dan pilpres nanti, namanya juga mengkritisi, tentu saja isinya lebih banyak jeleknya dibandingkan baiknya.
Dua nama partai besar menjadi korban kritikan tersebut. Dan setelah ditelusuri ketulisan tersebut, rupanya penulisnya juga seorang elite politik dari sebuah parpol gede. Jadi, disamping fungsi manifest dari tulisan tersebut yang menginginkan perpolitikkan mendidik tanpa saling jelek, juga terdapat fungsi laten yang sangat bertolak belakang. Secara tidak langsung penulisnya menginjak-injak kata-katanya sendiri. Kenapa? Ya jelas saja, kalau seandainya penulis tersebut memang orang tanpa parpol, tujuannya jelas untuk mengkritisi agar perpolitikan lebih bijak, tapi kenyataannya penulis tersebut adalah elite dari parpol yang menjadi lawan tangguh parpol yang dikritisinya. Kalu seperti itu kejadiannya, bukannya hal positif yang bakal ditarik pembaca, kesimpulan utama yang diambil pembaca adalah. :”Urang ko gaya nyo se mangkritik partai lain, sabananyo inyo sacaro ndak langsuang manyampaian partainyo sebagai partai tanpa cela”. Kalau suadah seperti ini, kapan kita akan berpapasan dengan yang namanya cleanpolitical.
Cerita diatas tidak saja dapat ditemukan disurat kabar, banyak juga terdapat diinternet, spanduk, pamflet, radio, dan televisi sebagai media nomor wahidpun mempunyai cerita dengan naskah cerita yang relatif sama.
Suatu ketika terjadi wawancara singkat antara sebuah televisi swasta dengan seorang elite parpol, tentang bagaimana visi dan misi yang diusung parpolnya untuk membangkitkan bangsa. Si elite menjawab dengan berbagai macam visi dan misi yang memuaskan sang wartawan dan penonton dirumah, tetapi saat menyebut visi dan misi tersebut, terselip hujatan kepada parpol dan elite lain bahkan kepada elite politik yang sedang menguasai negara (presiden). “Kami jika diberi kepercayaan, tidak akan mengambil kebijakan ini dan itu seperti yang diambil oleh……!”, yang jelas-jelas merendahkan kebijakan-kebijakan yang telah dihasilkan pemerintah yang ditunggangi elite parpol lainnya.
Peristiwa-peristiwa diatas akan semakin menguatkan stagmen masyarakat bahwa politik memang kotor, penuh tipu muslihat, walaupun politik memang harus begitu. Ironisnya, semakin politik kotor, maka semakin ingin orang untuk ikut serta memainkannya. Ini dapat dilihat dari semakin menjamurnya para caleg dan capres, dari caleg yang tua sampai yang muda belia, dari insinyur sampai supir bus, dari yang tamat SMA dengan ijazah palsu hingga tamat S3 di Belanda, dari pengangguran hingga pemimpin daerah yang sudah kayaraya, semuanya punya kesempatan jadi anggota legislatif. Lain halnya dengan presiden, dari yang sudah biasa hingga yang baru muncul dari kerumunan masa, dari manatan pejabat Dati I sampai para ningrat, dan lain sebagainya. Tapi ya itulah, semakin kotor semakin disukai. Ibarat para bocah 10 tahunan, yang semakin becek jalanan semakin ingin mereka menginjaknya. Tapi bukan berarti para elite dan partai adalah para bocah, tapi yang tepatnya adalah political children (bocah politik).
Yang lebih keterlaluan lagi dalam realita perpolitikan Indonesia, suatu hari ketika berkesempatan bertemu dengan kawan lama yang menjadi kandidat anggota legislatif, pada saat itu terlontar pertanyaan “apa saja kerjanya anggota dewan itu?”. Dengan sumringah kawan lama itu menjawab. “Terpilih saja dulu, baru kita cari tahu apa-apa saja kerjanya”, pertanyaan berikutnya “apa saja etika-etika yang dipakai kalau jadi anggota dewan?”. Jawabnya “ntar kita cari tau sama orang di sekretariat partai saya”.
Nah dari jawaban kawan lama tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bagaimana sebenarnya moral dan niat para wakil rakyat tersebut. Memang tidak seluruh caleg yang seperti itu, karena banyak caleg yang memang memiliki jiwa dan pengetahuan luas seperti yang banyak kita lihat pada acara-acara debat parpol di media-media. Tapi coba bayangkan sepertiga saja caleg seluruh Indonesia berkarakter seperti kawan lama tersebut, bisa-bisa aspirasi rakyat juga akan terlantar sepertiganya, dan sepertiga aspirasi tersebut adalah masalah kronis seperti kemiskinan, HAM, konflik, dan lain-lain. Jadi apa Negara ini kedepan.
Mungkin, keinginan luhur para caleg dan capres yang melihat kesejahteraan menjadi ciri khas kerakyataan di Indonesia hanyalah impian semata bagi rakyat dan peluang bisnis bagi wakil rakyat, karena janji hanya akan terucap sebelum bekerja, setelah bekerja sering terlupa. Menginjak kata-kata sendiri ketika berkampanye, setelah terpilh maka lahirlah perbuatan yang krisis moral seperti KKN dan menegadah keatas tanpa melihat realnya kondisi rakyat, tertegun kita mendengar rangkaian kata seorang mahasiswa yang berbunyi “ indeks saham harga diri di pasar kehidupan anjlok kelevel terendah karena ulah pelaku pasar yang menjual obligasi berupa kata-kata kebohongan”!. Ini realita yang ada.
Sementara para pengemis, pengamen jalanan, anak gelandangan, pedagang K5, anak-anak dipanti asuhan, orang tua dipanti jompo, nelayan yang cuma punya 2 helai baju, pencopet, PSK, korban pemerkosaan dan lain-lain yang ingin merubah hidupnya. Sudah muak mendengarkan janji sesumbar para parpol dan elitenya, mereka juga sudah muak menjadi penonton teater politik yang alur ceritanya itu-itu saja, saling sikut, saling rebut, saling pagut, saling hasut, saling menebar maut, dan korbannya rakyat yang tak ikut-ikut.

Anonymous said...

TRADISI SYIRIK YANG BERKEMBANG BIAK
Oleh : Juli Ishaq Putra
Alumni MTI Canduang ‘08
Sekarang Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP UNAND

Tradisi tetaplah tradisi, secara sadar ataupun tidak tradisi akan dipertahankan oleh para penganutnya, apalagi tradisi tersebut membawa sebuah keberuntungan. Pasti tradisi itu akan dipakai dan dijaga turun temurun. Lain halnya jika sebuah tradisi menjadi pengekang untuk hidup bebas. Maka,para penganut yang tidak begitu loyal akan berupaya meninggalkan dan melupakan tradisi tersebut.
Layaknya agama, jika membawa keuntungan seperti akan menerima zakat, maka ditaati, tapi jika tidak, maka akan didustai dan dinodai dengan berbagai alasan. Jadi, jika selama ini kita sering mendengar kata-kata Islam KTP, tidak ada salahnya jika saat ini muncul kata-kata Tradisi KTP.
Kembali pada persoalan tradisi yang membawa keuntungan dan keberuntungan, yang selalu dipertahankan. Dalam kalangan masyarakat Minang khususnya, banyak ditemukan berbagai macam tradisi yang selalu dipertahankan turun temurun, dengan syarat tradisi tersebut dapat membawa nilai plus dalam menjalani kehidupan, meskipun bertentangan dengan agama.
Tradisi seperti menyabung ayam. Memang sudah mulai hilang seiring perkembangan zaman dan tekhnologi, yang menawarkan berbagai macam permainan pengganti sabung ayam tersebut. Permainan-permainan canggih tersebut sangat diminati meskipun merogoh kocek yang lumayan besar. Tapi, walaupun menyabung ayam telah diambang kepunahan. Masih ada beberapa tradisi yang bertolak belakang dengan ajaran agama dan ajaran Islam secara khususnya. Dimana tradisi-tradisi tersebut masih saja diagung-agungkan ditengah-tengah masyarakat. Tradisi yang berbau syirik bisa dijadikan contoh kongkrit.
Begitu banyak hal-hal berbau mistik yang menjadi pedoman tanpa sanggahan ditengah masyarakat, yang memang sudah menjadi pusaka dari nenek moyang terdahulu, meskipun belum tentu seluruhnya memang pusaka. Karena, ada juga yang hanya perkataan yang mengada-ada dan salah kaprah dalam mengartikannya. Begitupun hal lain seperti azimat, tanda lahir, sihir dan tenung, yang semuanya memiliki nilai dan arti tersendiri sesuai dengan perkembangan animo masyarakat awam.
Peringatan-peringatan dari nenek moyang atau yang sering diistilahkan dengan “kato urang tuo-tuo”, kebanyakan dipegang teguh oleh manusia modern saat ini. Seperti, tidak boleh menampi beras dimalam hari, tidak boleh membawa makanan dimalam hari dengan alasan sipembawa makanan akan diikuti harimau dan lain sebagainya. Ada juga hal-hal yang diartikan tidak sesuai keinginan nenek moyang tersebut. Seperti, tidak boleh menjahit dimalam hari dengan alasan bisa menyebabkan mata menjadi buta. Padahal, yang ditakuti oleh para urang tuo-tuo ialah, tangan sipenjahit nantinya terluka karna tertusuk jarum jahit.
Sedangkan perihal masalah azimat. Inilah yang sangat-sangat merakyat ditengah-tengah masyarakat. Anak bayi yang baru lahir telah dikalungi berbagai macam kalung azimat, sampai-sampai dililitkan kepinggang, dengan alasan agar sianak tidak diganggu oleh iblis atau syeitan dan agar sianak terjauh dari berbagai macam penyakit damn mara bahaya lainnya. Apalagi jika kita mencoba berjalan ke pusat perbelanjaan atau pasar. Maka, sesuatu hal yang biasa jika pada sebuah toko terdapat potongan-potongan aneh yang menempel didinding atau air-air tidak jelas yang dipajang di toko-toko tersebut. Barang-barang aneh tersebut tidak lain adalah barang yang berfungsi sebagai pelaris dan pemanis toko bersangkutan.
Dalam konteks ini, kita dapat melihat, betapa dangkalnya rasa keimanan masyarakat kepada Tuhan YME Allah SWT. Tipisnya kepercayaan terhadap kodrat Tuhan inilah, yang dapat menjatuhkan diri manusia kejurang kesyirikan, yang terminal penghabisannya tentu saja Neraka yang bersangatan panas. Semakin seorang manusia tidak percaya pada ketentuan Allah,dan menggantungkan diri kepada selain Allah. Maka, akan semakin memperdekat jarak antara seseorang tersebut dengan Neraka yang bergejolak merah.
Padahal masyarakat sudah cukup sering mendengar pengajian-pengajian tentang kemusyrikan dari para ulama di mesjid dan mushalla. Bahwasanya umur, rezeki, jodoh, dan kematian, sudah digariskan dan diatur oleh Allah sebelum seseorang tersebut dilahirkan. Ini bukan berarti kita harus berserah diri dan menunggu nasib. Tentu saja kita dalam berkehidupan haruslah berusaha, karena kita tidak mengetahui takdir yang akan diterima. Tapi jangan sampai usaha-usaha yang ditempuh tersebut berlawanan dengan ketentuan-ketentuan yang digariskan Allah, yang akan membawa mudharat tersendiri dalam meraih tujuan dunia dan tujuan pokok yaitunya akhirat. Sebagaimana hal-hal yang berbau syirik yang disebutkan diatas. Bukan berarti kita tidak meyakini hal-hal yang ghaib, tapi mengimani yang ghaib tersebut bukanlah dengan jalan demikian.
Parahnya lagi, prilaku-prilaku dosa dan bodoh tersebut, dilakoni oleh manusia-manusia modern yang telah dimanjakan dengan pengetahuan dan tekhnologi yang sebenarnya dapat menghancurkan kemistikan. Syirik berkembang dalam masyarakat yang tahu akan banyak hal, dan terkadang sering sok tahu dalam segala hal. Disinilah terlihat jelas, betapapun canggihnya sebuah tekhnologi dan pengetahuan, maka takkan ada artinya jika tidak dibarengi dan dijaga oleh rasa keimanan dan kepercayaan pada Tuhan. Dan yang seharusnya menjadi PR penting bagi tiap pribadi masyarakat ialah. Bagaimana menumbuhkan rasa keimanan dan sikap berTuhan menyeluruh dalam kehidupan.

Wassalam….