Harimau Terakhir
Cerpen: Muhammad Nasir
"Harimau yang datang tadi malam, betul-betul harimau!" kata Inyiak Sati "Inyiak balang?" Tanya Palimo "Apapun sebutannya, harimau tetaplah binatang. Sekali binatang tetap binatang!" putus Inyiak Sati Inyiak Sati, orang tua sepuh itu tak lagi berkata-kata. Rokok daun tembakau dimulutnya dihisap senikmat-nikmatnya seraya mencungkil kotoran di ibu jari kakinya. Diam. Tak ada yang berbicara. Asap tembakau Inyiak Sati menjalar ke awang-awang. Ada juga yang singgah di hidung enam pria yang datang kepada Inyiak Sati. Oh, ya, agaknya penting juga memperkenalkan enam pria yang minta petunjuk kepada lelaki tua yang sudah didaulat jadi tetua kampung seumur hidup. Palimo, agaknya ia pemimpin rombongan. Jabatannya adalah kepala Jorong. Pengiringnya adalah Kutar, Sulan, Saman, Masri dan Aswar. Sejak Palimo terpilih jadi kepala Jorong, kelima tim suksesnya ini senantiasa membuntut seperti kerbau dan pedatinya. Enam pembesar jorong ini sengaja mengunjungi Inyiak Sati. Mereka tahu persis, kakek tua itu meski bukan zoologist, tahu banyak tentang harimau. Riwayat hidupnya tidak lepas dari pergaulan liarnya denga harimau atau inyiak baling, sebutan takzimnya. Konon semenjak muda Inyiak Sati sering berkelahi dengan harimau. Baik sewaktu berprofesi sebagai petani ataupus sebagai pejuang yang sering bergerilya masuk keluar hutan melawan kompeni. Kadang-kadang ia juga sengaja bergelut dengan harimau sekedar mempermahir gerak bela diri. Paling spektakuler adalah melawan harimau jadi-jadian, jelmaan dukun kafir yang tak pernah mandi dan sembahyang. Oleh sebab itu, masalah harimau yang menyatroni kampung, mereka anggap Inyiak Sati lah expert-nya. Keheningan itu pecah juga. Seperti bisul mengkal yang menunggu bernanah. "Tolonglah Nyiak,pagari kampung kita" pinta Palimo. "Iya, Nyiak" Kutar turut pula menukuk. "Bisa habis ternak kita nantinya Nyiak" si Sulan ikut menyela. "Saya juga takut menakik getah Nyiak, bisa rengkah kepala saya" Saman bicara pula. "Konon kampung sebelah juga diserang. Ibu-ibu pencari kayu baker sampai terkencing di celana mendengar aumannya" Masri sekedar mencontohkan. Sudah lima orang bermohon. Inyiak Sati seolah tidak mendengar. Sehabis mencungkil kuku, kini ia mencabut bulu hidung. Asap rokok sesekali ia tiupkan ke langit. Ia menerawang seperti berpikir. Tetapi sebenarnya tidak. Ia sedang mengamati kemana perginya asap rokok daun enaunya. Yang tersisa kembali diam. Bahkan anginpun tidak bertiup di ruang tertutup itu. Sampai… "Hey, Aswar, kenapa kau menggigil?" tiba-tiba pria gaek itu menunjuk Aswar,lelaki keenam yang belum bicara. Aswar tergagap. "Anu, Nyiak, saya punya pusa-pusa di kening. Apa saya juga diincar harimau itu Nyiak?" Dalam pertanyaannya Aswar mengandung harap. Berita baik dan jawaban "bukan" dari Inyiak Sati. "Kau sudah dipilih Aswar. Ajalmu akan tiba. Bersiap-siaplah!" jawab Inyiak Sati. "Haaa?" Aswar terperanjat. Pantatnya melompat sepuluh senti dari tempat semula. "Apa usaha kita Nyiak?" kecuali Aswar, kelima pria itu bertanya serempak. "Entahlah". Itu saja yang keluar dari mulut keriput Inyiak Sati. Ia melangkah ke luar rumah. Jelas mengarah ke bangunan kayu di samping rumahnya. Jika ada yang bertanya, bangunan itu adalah surau Inyiak Sati, warisan ayahnya Angku Imam. Entah apa maksudnya.orang tua itu berputar-putar di dalam surau kecil empat kali enam meter itu. Tumpukan kitab kuning, alqur'an dan entah tulisan apalagi yang ada di sana ia tepuk-tepuk. Beliau bersin. Dinding papan tanpa cat itu juga ia guguh, dan berbunyi bukk…bukk. Setelah itu terdengan bunyi seperti orang pipis, atau seperti pasir berseluncur di atap. Itu bunyi bubuk kayu. Anak-anak sini menyebutnya cirik anai-anai. Enam pria itu mengikuti Inyiak Sati ke dalam surau. "Inyiak, bagaiman tentang harimau tadi?" ulang Palimo bertanya. "Papan ini mulai lapuk" jawab Inyiak Sati. Tentu saja tidak menyambung dengan pertanyaan. Tetapi lelaki tua it uterus saja bercerita. "Dulu bapakmu sampai terkencing-kencing memikul papan ini. Ia ikut menebang, membelah dan mengetam kayu ini. Bapakmu punya andil membangun surau ini" kenang Inyiak Sati. Pernah merasakan bingung? Itulah yang dialami Palimo. Lain ditanya lain pula dijawab. "Kami tahu, Nyiak" jawab Palimo seadanya. "Sudah berapa lama surau ini tidak dipakai? Tanya Inyiak Sati. "Kurang lebih duapuluh tahun Nyiak" jawan enam orang itu serempak. "Ada berapa buah surau di jorong ini selain surauku ini? "Dua Nyiak," jawab Palimo. Kalau begitu kembalilah ke suraumu, rubuhkan dan bangun surauku ini, seperti dulu. Dalam hati Palimo, mengumpat "gaek tea". Tapi ia teringat masa kecilnya. Surau Inyiak Sati adalah tempat ia mengaji alif-ba-ta. Tempat ia tidur sewaktu jejaka. Tempat Kak Ciah dan Uwan Sirun menyelesaikan perkara rumah tangga. Tempat bersaksi orang yang melakukan pagang gadai pada hartanya. Tempat orang berdebat masalah adapt. Hampir semua urusan pribadi atau bersama terjadi di surau ini. Bukan apa-apa, semua hanya karena Inyiak Sati berdiam di surau ini. Tak sekalipun ia mau pergi ke balai nagari atau ke kantor desa. Meski parewa, Inyiak Sati tak kalah dalam bidang agama. Makanya ia berani tinggal di surau. Sekarang surau itu tidak berfungsi. Tak sekalipun azan terdengar dari surau ini. Apa sebab? Inyiak Sati tak tinggal lagi di surau sejak Surau Baru berbahan batu dan semen di bangun di Balik Air, kampung seberang surau Inyiak Sati, masih di jorng yang sama. Kata orang-orang sebelum membangun surau bariu, surau Inyiak Sati sudah sempit. Tak muat lagi untuk bersembahyang orang se jorong. Setelah dibangunpun, Surau Baru tak pernah ramai. Sedikit saja orang yang sembahyang. Tak ada yang mau tetap menjadi imam. Imam sembahyang adalah orang yang dulu tiba di surau kemudian didaulat jadi imam. Kadang-kadang orang teringat Inyiak Sati. Sejak pagi hingga malam hari ia tak pernah henti datang ke surau. Menjadi imam dan mengajar mengaji. Inyiak Sati tak pernah datang ke Surau Baru. Dingin, katanya. Maklum Surau Baru sudah permanent. Berdinding bata berlantai semen. Surau Baru langsung diresmikan bupati.Sejak itu pula Inyiak Sati tak berpenghuni. Sekarang Surau Baru itu disuruh rubuhkan. Orang tua edan. Begitu pikir Palimo. "Rubuhkan Nyiak? Kenapa? Itukan surau permanent?" protes Palimo. "Ya. Kalian tea. Sudah jelas kampung kita dingin, dibangun pula surau batu. Itu bukan surau, tetapi ngalau batu. Masuk angin lah kalian!" Inyiak Sati memaki-maki. "Tapi Nyiak" Palimo mencoba protes. "Tak ada tapi-tapian, kerjakan!" pangkas Inyiak Sati pertanda protes ditolak. "Bagaimana Harimau itu Nyiak?" "Sekali binatang tetap binatang!" Inyiak Sati seperti bersemboyan. Pembicaraan usai. *** Malam harinya, sesudah Isya'. Tak biasanya Palimo menjadi Imam. Gara-gara harimau seekor ia terpaksa berkumpul dengan beberapa orang yang dianggap perlu. Membahas bagaimana caranya membujuk Inyiak Sati. Ada sembilan orang pria termasuk Palimo. Apa cerita mereka? "Apa kalian mendengar auman harimau senja tadi?" Tanya Palimo. "Ya," jawab seseorang. Yang tujuh lagi mengangguk-angguk pertanda iya. "Menyedihkan sekali. Mungkin harimau itu sedang lapar. Tapi kenapa ia melenguh melengking setinggi langit?" Tidak ada yang menjawab. Palimo gelisah. "Sebelum ke surau, tadi saya singgah ke rumah Inyiak Sati. Tapi orang tua itu tak di rumah" Palimo bersandar ke dinding. Kiblat berada di sisi kirinya. "Saya kehilangan seekor kambing" kata seseorang. "Korban mulai jatuh!" "Apa usaha kita? Hey kalian cobalah berpikir. Sudah mati otak kalian rupanya, semprot Palimo. "Kemana Inyiak Sati?" "Entahlah, saya sudah tanyakan kepadaTek Ciah. Tidak tahu. Besok ia pulang, kata bininya itu" Palimo mencaplok rokok di tangan seseorang. Ia merokok mencari inspirasi. "Aku tahu perangai gaek itu. Kalau ia perintahkan memperbaiki suraunya, pasti ada gunanya. Tetapi yang aku tak mengerti, kenapa Surau Baru ini harus dirubuhkan? Apa pikiran kalian?" tawar Palimo. Lama berdebat, tak seorangpun yang tahu apa maksud dan tujuan dari perintah Inyiak Sati itu. Kalau membangun, bolehlah bisa diterka manfaatnya. Tetapi kalau merubuhkan, tak ada terlihat kegunaannya. Namanya saja merubuhkan. Pasti maknanya buruk, merusak, begitu pikir mereka. Sampai seseorang mengusulkan…. "Begini saja, kita perbaiki surau Inyiak Sati, tapi Surau Baru ini jangan dirubuhkan dulu, siapa tahu surau Inyiak Sati berguna untuk mengusir harimau" Apa pula hubungan surau dengan harimau? Tetapi tentang yang ini tak banyak yang berdebat. Semua setuju memperbaiki surau Inyiak Sati. Palimo bahkan menawarkan papan yang banyak tersandar dirumahnya. "Ini, strategi namanya. Taktik…taktiiiik…!" teriak Palimo seperti Jendral Sudirman. Mereka pulang dengan muka cerah. Namun rasa cemas tidak hilang dari hati mereka. Harap-harap cemas. Harap sampai dirumah dengan selamat. Cemas,seandainya di jalan bertemu inyiak balang. *** Belum selesai ayam jantan berkokok, Palimo sudah gerilya dari rumah kerumah. "Gotong royong ke Surau Inyiak Sati!" itu saja perintahnya. Singkat cerita, saat tanah sudah terlihat wujudnya, saat embun sudah pasti pergi meninggalkan bumi, saat itu pula terkumpul puluhan laki-laki yang dikenai wajib goro berkumpul di surau Inyiak Sati. Tetapi masalah muncul lagi. Ke mana Inyiak Sati? Kurang taratik namanya membongkar surau Inyiak Sati tanpa seizinnya. Meskipun pekerjaan ini atas permintaan yang bersangkutan. Hari makin tinggi. Kopi sudah lama terhidang. Yang tersisa cuma ampas di ekor teko. Inyiak Sati belum juga berhasil ditemui. Orang tua itu bagai hilang di telan bumi. Palimo gelisah. Warga peserta goro mulai macam-macam ada yang mengancam akan pulang, bila pekerja belum dimulai. Beberapa orang mulai minta tambah kopi. Ada juga yang minta dibelikan rokok. Bahkan ada yang minta nasi. Palimo mulai tak enak hati. Matahari tegak tali. Elang memekik di angkasa. Induk ayam mulai menyurukkan anaknya satu persatu di bawah perut dan ketiaknya. Seiring pekik elang, terdengar bunyi menggelegar di dalam surau Inyiak Sati. Suara dinding papan dihantam mortir. Orang-orang yang berkumpul di halaman surau tergagau. Ada yang menyebut abak mandehnya. Ada yang menyebut nama tuhan. Ada yang memegang dadanya berharap tali jantungnya tidak ada yang putus. Palimo cepat mengendalikan diri, melihat ke dalam surau. "Ondeh mandeh!" Palimo tergagau untuk kedua kalinya. Mukanya pias, putih seperti telapak kaki. Sesosok wajah yang bersirobok dengan wajah Palimo itu adalah wajah Inyiak Sati. "Ada apa Nyiak? Terlongsong benar garah Inyiak" sesal Palimo. "He…he…maaf, ketika saya masuk dari pintu samping, engselnya lepas. Pintu terhempas" Inyiak Sati tertawa puas. "Ini, bukalah!". Inyiak Sati menyodorkan bungkusan daun pisang. "Apa itu Nyiak?" tanya Palimo. "Telinga Harimau! Simpan baik-baik. Ini harimau terakhir di kampung kita. Setelah ini, aku tak akan berburu lagi" Muka Palimo membesar saking gembiranya. “Oh, ya, sampaikan juha ke orang-orang, seekor kambingnya dimakan harimau. Aku yang memberikan” Inyiak Sati kembali menyulut sebatang rokok. "Hoyy, harimau itu sudah mati!" Orang-orang berteriak kegirangan. Ronaldo baru saja menjebol gawang Atletico Madrid. Penonton bersorak. Begitu pula euphoria di halaman surau Inyiak Sati. "Sekarang, kerjakan surauku. Ini adalah surau terakhir yang dibangun di kampung ini. Jangan ada lagi surau sesudah ini. Surau ini adalah kenang-kenanganku untuk kalian. Surau kalian itu hanya gedung batu. Tak ada artinya" perintah Inyiak Sati. Semua orang bekerja dengan rajinnya. Kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Begitulah, kalau orang bekerja dengan sukarela. Sebentar saja, surau itu selesai. Surau Inyiak Sati tegak seperti baru. Orang-orang terperangah kelelahan. Tak sadar mereka, saat bekerja tadi Inyiak Sati sudah tersandar di tonggak pagar. Palimo berjalan menuju Inyiak Sati. Ia akan menanyakan kenapa Surau Baru harus dirubuhkan? Sekarang surau Inyiak Sati sudah berdiri. Inyiak Sati diam seperti tidur nyenyak. Lelaki tua itu tak bereaksi. Palimo mencoba menyentuhnya. Inyiak Sati diam saja. Meski matanya tertuju ke arah suraunya, ia tak melihat apa-apa. Inyiak Sati tak bernyawa. Palimo tak mendapat jawaban apa-apa tentang semuanya Padang, 10 Agustus 2007 Tentang Penulis Muhammad Nasir, lahir di Medan 15 Mei 1977. Alumni Sastra Arab IAIN Imam Bonjol Padang. Menulis Cerpen dan Puisi sejak 1993 yang tersebar di koran lokal Sumbar, seperti Mimbar Minang, Padang Ekspres, Harian Singgalang dan Haluan. Di samping menulis Cerpen dan sajak, juga menulis artikel dan opini yang beraroma human interest. Alamat Subag. Humas IAIN Imam Bonjol Jl.Prof. M.Yunus Padang, Telp/HP. 08126712099. email : kbsati3@yahoo.com
No comments:
Post a Comment