teroueskan membina tabijah islamijah ini sesoai dengan peladjaran yang koe berikan(syekh sulaiman ar-rasully)

Saturday, June 09, 2007

Bencana Alam dan Keserakahan Kita

Bencana Alam dan Keserakahan Kita

Oleh : Mhd. Fauzan Azim

Bencana adalah hal yang sangat menakutkan bagi setiap makhluk yang bernyawa, itulah kira-kira ungkapan yang terlintas dalam setiap fikiran kita. Tidak hanya manusia, makhluk tuhan yang lainpun kalau bisa bicara akan berujar layaknya manusia bicara. Bencana seakan menjadi bagian dari kehidupan dunia. Dimanapun, kapanpun, bencana muncul dengan bentuk yang berbeda terkadang sama dan bahkan bisa berulang-ulang. Kenapa semua itu bisa terjadi? Apakah Yang Maha Kuasa tidak sayang dengan ciptaannya, ataukah semua itu merupakan jawaban yang diberikan oleh Tuhan terhadap teka-teki kehidupan yang dibuatnya sendiri? Sebagai makhluk yang dikaruniai dengan fikiran dan nafsu kita tentu bisa berkaca dari semua yang terjadi dari pepatah orang minang sendiri “alam takambang jadi guru” dan orang bijakpun mengatakan “pengalaman adalah guru yang sangat berharga”.

Untuk jawaban semua itu mestikah kita bertanya pada rumput yang bergoyang seperti yang didendangkan oleh musisi kondang Ebit G Ade dalam syairnya lagunya. Tak jauh dari apa yang dikatakan oleh Ebiet dalam syair lagunya sebagai bangsa yang beriman tentu kita bisa merujuk kembali semua itu kepada keyakinan kita. Disebutkan dalam al-Qur’an “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar-Ruum: 41) senada dengan yang disebut dalam surat Ar-Ruum: 41 diatas, secara teoritis ilmu pengetahuanpun mengatakan bahwa bencana memang tidak mungkin diatasi secara serta merta tapi paling tidak diminimalisir untuk terjadi.

Di Indonesia bencana seolah menjadi tradisi tahunan yang tak henti-hentinya datang silih berganti mulai dari banjir, kebakaran hutan, gempa bumi, longsor, dan sebagainya. Apabila kita bandingkan dengan negara-negara lain, ada persamaan namun ada juga perbedaan yang sangat signifikan tentang paradigma kita terhadap bencana itu sendiri. Persamaannya adalah bencana dialami oleh setiap negara disetiap belahan dunia manapun mulai dari perang, banjir, longsor, gempa bumi, topan, badai, kebakaran dan lain sebagainya. Perbedaannya adalah terletak pada paradigma kita dalam memahami sebuah bencana dan bagaimana mengatasinya. Kita seolah sudah terbiasa dengan kedatangan bencana.

Setiap tahun selalu ada daerah yang kedatangan banjir, kebakaran hutan, longsor dan sejenisnya dan seolah tidak ada upaya serius dan konkrit untuk meminimalisirnya. Suatu hal yang sangat memilukan dan membuat muka kita merah ketika negara kita pernah djuluki sebagai eksportir asap oleh negara-negara tetangga. Akankan stigma yang memilukan ini menjadi cambuk bagi kita untuk merubah kondisi yang ada, ataukah hanya akan menjadi bahan omongan elit politikus dunia di sela-sela kecapean dan kejenuhan mereka mengurus bangsa mereka. Jawabannya tentu bergantung kepada kita sejauh mana kita mampu membuktikan bahwa Indonesia tidak seburuk yang mereka bayangkan. Ataukah ini sudah takdir untuk bangsa kita, tentunya kita tidak mau menyerah begitu saja kepada nasib, al-Qur’an pun tidak sependapat kalau kita menyerah begitu saja (“….Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri....” (Ar-Rad 11).

Dalam hal penanggulangannya, pemerintah merupakan lembaga berwenang yang mesti berada di garda depan untuk memperbaiki semuanya. Harapan ini hendaknya tentu berbuah tindakan yang kongkrit dari pemerintah dan perlu adanya upaya menyeluruh dari setiap komponen bangsa. Namun sayang ditengah harapan yang membumbung dari rakyat pemerintah malah melahirkan kebijakan yang memperparah stigma khas kita. Pemerintah terkesan ambigu dalam mengeluarkan setiap kebijakannya, seakan mereka tidak pernah memikirkan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan mereka sendiri.

Namun pada klenyataannya, pemerintah dalam hal ini tidak menjadi lembaga terdepan dalam pencegahan dan penganggulangan bencana. Dan bahkan pemerintah telah menjadi penyebab pula dari terjadinya bencana. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kasus diresmikannya AW kafe & restourant yang lazim disebut dengan kafe terapung di kawasan pariwisata Marina Batang Arau kota Padang oleh Sekdako Padang pada 8/3 lalu. Kebijakan walikota Padang mengizinkan pendirian kafe terapung sangat kontradiktif dengan berbagai penertiban yang dilakukan. Kenapa masyarakat yang belum memiliki IMB begitu akan mendirikan bangunan lansung dihentikan Pol PP. Namun ini sudah jelas-jelas tidak memiliki satupun izin, tetapi tidak diapa-apakan. Padahal pendirian kafe tersebut jelas melanggar ketentuan atau perundang-undangan yang berlaku, diantaranya pasal 2 UU No. 7 tahun 2004 yang mengatakan, SDA dikelola berdasarkan azas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan dan kemandirian serta transparasi dan akuntabilitas. Pada pasal 3 disebutkan, SDA dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan SDA yang berkelanjutan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam SK Gubenur Sumbar No 10/1995 tentang sepadan sungai, dinyatakan bahwa “jarak sepadan batang arau dengan banjir kanal adalah 16 meter”.

Pembangunan kafe terapung secara permanent telah menyebabkan penyempitan aliran sungai di bagian hilir (bottle neck). Aliran anak sungai Batang Arau yang dulunya 6 meter sekarang hanya tinggal 3 meter saja dan tentu sangat beresiko sekali. Wajar sebagian anggota DPRD kota Padang dan berbagai kalangan mempertanyakan konsistensi Pemko Padang dalam menegakkan aturan. Akankah peraturan yang dibuat dengan banyak meghabiskan biaya dan tenaga untuk mengejar kepentingan sesaat lalu kita mengabaikan suara hati rintihan alam utuk melestarikan mereka. Siapa yang mesti disalahkan dalam fenomena ini mestikah patriotisme rakyat dipertanyakan ketika kebijakan Negara melalui pemerintah digugat, salahkah rakyat yang telah memainkan fungsinya sebagai warga yang kritis untuk masa depan yang lebih baik? Merenungi kembali apa yang didendangkan oleh Ebiet G Ade “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa, atau alam mulai enggan bersahabat dengat kita, coba kita tanyakan pada rumput yang bergoyang“. Ya mungkin saja alam marah dengan sikap kita sehingga Tuhan pun bosan dengan kita umatnya.

Sangat mustahil mengatasi bencana tanpa ada upaya serius dari pemerintah untuk mencegahnya terjadi kalau toh pemerintah sendiri tidak konsisten untuk menerapkannya. Seperangkat aturan yang telah dibuat ibaratkan barang mainan yang seenaknya di utak-atik untuk kesenangan pemiliknya. Alangkah menggelikan ketika ditanya soal kebijakkannya terkait izin pembangunan kafe terapung bapak Walikota mengatakan “itu hak prioregatif saya” (singgalang 15/3). Hal ini jelas mengabaikan tujuan kehendak nurani luhur dari masyarakat untuk terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sepertinya halnya dalam konsep civil society. Mahatma Gandhi sendiri pernah mengatakan “sebenarnya alam cukup kaya untuk memberikan manfaat kepada umat manusia, tetapi tidak untuk orang yang serakah”. Merenungi apa yang dikatakan Ghandhi tersebut, jelas bahwa mengelola alam tanpa memperhatikan akibat jangka panjang sudah barang tentu akan merusak kelestariannya dan akibatnya kalau tidak kita anak cucu kita akan merasakannya. Sebagai makhluk yang diciptakan dalam keadaan fitrah (kemampuan bawaan dan intuitif untuk membedakan yang benar dan salah) dan cenderung kepada yang baik, kebenaran dan hal yang suci (hanafiah), al-Qur’an menjelaskan kegagalan yang paling kentara selalu muncul karena memikirkan kepentingan jangka pendek, disebabkan karena kita merasa benar maka sangat riskan dan berpotensi menjadi tiran ketika telah merasa kuat, sepertinya pemerintah tidak mengindahkan masukan yang telah diberikan. Padahal al-Qur’an juga menjelaskan bahwa pentingnya mendengarkan ekspresi seseorang karena dengan kedua bekal sifat dikaruniakan kepadanya akan menuntun mereka kepada yang benar. (Nurcholish Madjid: Jalan Baru Islam). Tentunya ini pantas untuk direnungkan dan dperhatikan.

Kita juga tidak menyangkal bahwa berdirinya Kafe AW telah membawa dampak ekonomis bagi masyarakat sekitar. Terbukti kafe tersebut telah meraup tenaga kerja sebanyak 45 orang pekerja dan telah mampu mengurangi beban perintah dalam menurunkan angka pengangguran. Namun persoalannya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Sebelum didapatkan surat izin membuat bangunan (IMB) dalam mendirikan bangunan tentu dianalisis dampak yang akan ditimbulkan pada lingkungan oleh instansi yang berwenang. Dalam konsep pengembangan pariwisata sebenarnya jika kafe terapung dibangun diatas kapal tentunya otomatis jalur air disungai tidak akan terhambat sekaligus selaras dengan kondisi pasang surut dan bisa menjadi ocean cross (penyeberangan laut). Tetapi apabila bangunan dibuat secara permanen justru akan menghambat dan mempersempit jalur sungai dampaknya akan berakibat berpidahnya jalur sungai.

Apa yang dikhawatirkan berbagai kalangan klimaksnya berujung kepada meluapnya banjir air pasang di pemukiman warga kelurahan Berok Nipah Padang, sedikitnya 200 rumah warga tergenang saat air muara batang arau meluap. Limbah rumah tangga dan sejenisnya menjadi ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat. Hal ini tentu tidak biasa dibiarkan berlarut-larut. Kendati mengakui bahwa kebijakannya telah meninggalkan debit air di kawasan itu fenomena alam tetap menjadi kambing hitam oleh pemerintah, ironis bukan! Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak ada upaya konkrit pemko Padang untuk mengurangi beban penderitaan rakyat. Bukannya malah mengurangi penderitaan rakyat namun memperparah kondisi mereka dengan penyelewengan amanah yang telah diberikan kepada umara’ (pemerintah) yang mereka percaya.

Dalam kasus AW kafe ternyata tidak hanya menjadi penyebab dalam bencana yang sifatnya alamiah, namun di sisi lain kasus tersebut juga menimbulkan masalah baru dan cukup pelik, di mana dengan ditutupnya AW kafe dengan SK Sekdako Padang No: 503.35/ER-IV/2007 pemko Padang telah menimbulkan munculnya pengangguran baru yang melahirkan konflik sosial yang menifest di tengah masyarakat. Hal tersebut sebagaimana kita lihat dalam kasus demo yang dilakukan oleh pegawai AW (singgalang 25/04). Dalam skala yang lebih luas masyararakat telah dirugikan untuk kegiatan pengelolaan berbagai sungai yang melintasi kota Padang Dalam skala yang lebih luas masyararakat telah dirugikan. Rp 1,6 triliun telah dihabiskan untuk kegiatan pengelolaan berbagai sungai yang melintasi kota Padang. Untuk perawatannya pemprov sumbar telah menggarkan dana yang tidak sedikit pula. Pemko Padang terpaksa menjilat ludahnya sendiri untuk mengakhiri drama perselingkuhannya dengan kaum borjouist negri ini. Kafe terapung akhirnya ditutup setelah Sekdako Padang H. Firdaus K, SE sendiri yang meresmikannya pada tanggal 8/3 lalu.

Kasus ini jelas menambah deretan “monumen kegagalan” pembangunan di kota padang setelah TRB yang disfungsi, kemacetan di pusat kota, terminal bayangan di depan kampus UNP dan lains sebagainya. Untuk selanjutnya mau di bawa ke mana kota Padang oleh penguasanya? Wallahua’lam bi as-Shawab

Oleh : Muhammad Fauzan Azim

Penulis adalah Mahasiswa Jinayah Siyasah (Pidana dan Politik Islam) Fakultas Syari’ah

IAIN Imam Bonjol Padang

Sunday, June 03, 2007

GALLERY LKS MTI CANDUNG

GALLERY LKS MTI CANDUNG