teroueskan membina tabijah islamijah ini sesoai dengan peladjaran yang koe berikan(syekh sulaiman ar-rasully)

Tuesday, May 29, 2007

Soal Agama dan Budaya; Bertegas-tegaslah!

Soal Agama dan Budaya; Bertegas-tegaslah!

(Refleksi 79 Tahun Persatuan Tarbiyah Islamiyah)

Oleh: Muhammad Nasir

Mahasiswa Pascasarjana IAIN IB Padang

Tarbiyah Islamiyah atau sebelumnya lebih dekat di lidah masyarakat dengan sebutan PERTI, merupakan anak kandung politik pemikiran Islam Sumatera Barat. Kelahirannya tidak lepas dari perkawinan (sintesis) pemikiran tradisionalisme Islam dengan pemikiran kaum pembaharu. Jika ada yang mengatakan Tarbiyah Islamiyah sebagai representasi Kaum Tua, maka anggapan itu terlalu lemah dan tendensius. Apalagi sampai mengatakan Tarbiyah Islamiyah sebagai sarang Takhyul, Bid’ah dan Churafat (TBC) yang nyata-nyata sesat dan tidak Islami.

Padahal, “Persatuan Tarbiyah Islamiyah tidak pernah mengajarkan warganya untuk mebakar kumayan ketika akan memulai do’a bersama!” tegas Buya H. Ahmad Khatib Maulana Ali (1915-1993) kepada penulis tujuh belas tahun yang lalu. Jawaban berikutnya, “bialah, ndak usah dipikia bana masalah kumayan tu. Bisuak kalau urang indak manjua kumayan lai, urang Tarbiyah pasti indak mambaka kumayan lai.” Biarkan saja, tidak perlu dipersoalkan. Ada saatnya kumayan tidak dijual lagi, budaya itupun pasti hilang. Jawaban ini sungguh merupakan kearifan dan pembacaan yang cermat terhadap kebudayaan.

Persatuan Tarbiyah Islamiyah didirikan oleh para ulama Minangkabau yang menyebut dirinya Ahl al sunnah wal Jama’ah pada 5 Mei 1928 bertepatan dengan 15 Zulkaidah 1346 H. Tercatat beberapa nama yang ikut mendirikan ormas Islam ini, di antaranya; Syekh Sulaiman al Rasuli (Inyiak Canduang), Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syekh Mohd. Djamil Djaho (Inyiak Djao) Syekh Abd Wahid al Shalihi, Syekh Arifin Arsyad Batu Hampar, Syekh Ahmad Baruh Gunung, Syekh Abd Madjid Koto Nan Gadang, Syekh Djamaluddin Sicincin, Syekh Mohd. Alwi Koto Nan Ampek dan HMS Sulaiman Bulittinggi.

Syekh Ahmad Khatib Maulana Ali di Salo mencatat, kelahiran Persatuan Tarbiyah Islamiyah ini merupakan pertama, reaksi terhadap gerakan pengikut Wahabi di Minangkabau yang terlalu keras berdakwah, hingga tanpa tenggang rasa menghantam kian kemari. Kedua, untuk mempertahankan sesuatu yang dianggap benar. Lebih jauh Inyiak Imam Salo menjelaskan, apabila satu kebenaran berhadapan dengan kebenaran lainnya yang mungkin bernilai sama, maka wajibkah mengikuti sesuatu yang menurut adatnya terlihat baharu? Kalaupun harus terjadi, yang baru diterima sebagai kecendrungan zaman (trend) tanpa harus membatalkan yang lama yang bernilai sama. Ketiga, Tarbiyah Islamiyah merupakan bentuk penerimaan terhadap pola pendidikan modern. Keempat, Tarbiyah Islamiyah sebagai bentuk penolakan yang halus terhadap model ijtihad kaum muda. Kelima, untuk mempertahankan prinsip-prinsip bertaqlid kepada Imam-imam Madzhab yang dianggap berkompeten. Keenam, yang lain dari pada itu hanyalah persoalan politik dan kemasyarakatan saja. (Inyiak Imam Salo, Catatan Pribadi, 1976)

Memahami Tarbiyah Islamiyah sebagai sebuah lembaga pendidikan, dakwah dan sosial dalam semangat agama Islam haruslah berangkat dari dua hal, pertama: dari sesuatu yang ada di organisasi itu, kedua; haruslah melihat lembaga ini sebagai bagian dari proses yang lebih besar. Hal ini dilakukan agar setiap kajian selalu berdiri dalam posisi yang adil dalam melihatnya.

Bagian pertama, penting melihat ke dalam Tarbiyah Islamiyah itu sendiri. Apakah betul Tarbiyah Islamiyah sedimentasi Minagkabau Jahily dan yang imannya keropos karena “TBC”? Tidak dapat dipungkiri, bahwa sebagian besar masyarakat Minangkabau sebagai ranah spacial Tarbiyah Islamiyah masih mencapuradukkan antara tradisi lokal dengan pengamalan agama. Sebagian masyarakat justru meniatkan semua itu untuk tunduk dan patuh terhadap ajaran agama. Sayangnya, praktik yang demikian dapat menjadi bid’ah bila tidak ditemukan akar nash dan praktik beragama di zaman nabi. Akan tetapi tidak serta merta boleh dikatakan, praktik yang demikian itu menjadi trade mark Tarbiyah Islamiyah. Lalu dengan semena-mena mengatakan, kemenyan (kumayan), tahlil, zikir jama’ah, talqin, qunut dan sebaginya adalah Tarbiyah Islamiyah. Namun jangan lupa, sebagian yang disebut di atas juga menjadi amalan bagi mereka yang secara tegas mengaku aliran pembaharu bahkan pemurnian Islam. Dalam hal ini penting membedakan mana yang tradisi lokal dan mana yang tradisi agama (sesuai sunnah dan Islami).

Bagian kedua, Tarbiyah Islamiyah lahir dari sebuah proses yang lebih besar, yaitu jiwa zaman (zeitgeist) yang menuntut perubahan radikal untuk mendorong kepada kemajuan. Tetapi, apakah karena praktik berqunut, berzikir jama’ah, talqin mayyit dan sebagainya itu, umat Islam langsung terhambat kemajuannya? Jawabannya akan mudah didapatkan dengan menggunakan metode falsifikasi Karl Popper, si bule postmodernist. Ternyata ada juga orang yang berqunut jadi profesor dan kaya raya, tapi tidak korupsi.

Sejak 1928 hingga sekarang, Tarbiyah Islamiyah sudah memproklamirkan diri sebagai organisasi yang bermuatan pendidikan, dakwah, dan sosial. Pendidikan yang dimaksudkan organisasi disini berarti sebagai sebuah lembaga dimana sebuah doktrin keagamaan diajarkan. Dakwah yang dicantumkan berarti dengan strategi apa doktrin itu disampaikan. Sosial berarti kepada siapa doktrin itu diajarkan. Maka esensi sebenarnya adalah pendidikan Islam (al tarbiyyah al Islamiyyah) itu sendiri sebagai upaya memerdekakan manusia dari belenggu kebodohan dan kelemahan manusia.

Pendidikan yang dimaksudakan adalah sekolah-sekolah/ Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Secara specific, ajaran utama yang dikembangkan di sekolah-sekolah itu bercorak kalam Sunny (ya’taqidu bi I’tiqady ahl al Sunnah wal Jama’ah) dan beraliran fikih Syafi’i. Begitu juga dengan dakwah yang berarti dengan cara apa I’tiqad dan madzhab itu disampaikan. Sementara esensi sosial adalah mukhatab/ audience, di mana ajaran itu harus diamalkan.

Paling tidak ada tiga hal yang perlu diamalkan oleh warga Sumatera Barat yang berafiliasi kepada berbagai ormas Islam, khususnya dalam hal toleransi antar umat seagama. Pertama, serius membaca sejarah setiap organisasi Islam, agar dapat saling memahami. Kedua, serius mengamalkan doktrin organisasi masing-masing. Ketiga, serius menghormati saudara-saudara kita yang tidak seamalan-seorganisasi. Hal ini penting sebagai jaminan kesehatan hubungan sosial di negeri ini.

Haqqul yaqin, kesejahteraan, kemajuan dan kejayaan umat tidak terkait langsung dengan organisasi kemasyarakatan Islam. Faktanya, warga Muhammadiyah ada yang kaya dan berpikir maju, namun ada juga yang miskin dan berpikir kolot. Warga Tarbiyah Islamiyah begitu juga. Persoalan kemajuan sangat erat kaitannya dengan kerja keras dan kemauan yang kuat untuk belajar dalam mengatasi tantangan.

Arnold Toynbee dalam teori Challenge and response-nya yang terkenal menyatakan peradaban manapun di dunia ini akan bertahan apabila ia dapat mengatasi tantangan dengan memberikan jawaban (response) yang lebih dari cukup agar tantangan itu tidak membuat peradabannya jatuh ripuk. Pemikiran Toynbee yang Kristen namun dalam beberapa segi seperti menganut konsep alkasb dalam teologi sunny itu mengemukakan, yang dapat menyelamatkan peradaban dari kehancuran adalah kelompok kecil yang kreatif (creative minority). Mereka bisa saja orang-orang tarbiyah Islamiyah, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, atau mungkin saja yang lain dari pada itu. Nah! Selamat ulang tahun ke-79 Tarbiyah Islamiyah. (Padang, 27/04/2007 0:02)

BERALIH KEPADA PASAR TRADISIONAL

BERALIH KEPADA PASAR TRADISIONAL

Oleh: Muhammad Sholihin

(Kabid. PA-HMI Komisariat Syari'ah)

"Seni Baru Dalam Hidup, Cara Baru Dalam Hidup, Kata Iklan, Keseharian Dalam Perdagangan, Dapat Membuat Berbelanja Terasa Nyaman Dalam Ruangan Ber-Ac, Memberi Kebutuhan Sehari-Hari Sekali Saja (Selama Satu Bulan), Barang-Barang Untuk Apartemen Dan Villa, Pakaian Bunga, Roman Terbaru Atau Roman Amerika, Sementara Suami Dan Anak-Anak Menonton Film, Makan Malam Bersama Dan Lain-Lain"

(Jean Paul Baudrillard)

Baudrillard telah mengambarkan dengan utuh tentang realitas di Drugstore, Super market ataupun Mall. Dimana realitas yang ada di pasar modern adalah realitas yang Dikonstruksi (dibentuk) berdasarkan Vested Interest (kepentingan) dari para pedagang di pasar modern. Dalam kondisi ini doktrin "Invisible Hand" Adam Smith telah mengalami kematian, aktualnya demand dan suplly tidak dibentuk berdasarkan kekuatan pasar, namun Demand dan suplly dibentuk oleh kekuatan permainan yang dioperasionalkan di pasar modern, seperti Desain Ruangan di Mall yang membuat konsumen tetap betah berlama-lama di Supermarket, ataupun menyediakan hiburan-hiburan, seperti Musik Dan acara Talk Show dengan Selebritis, realitas ini adalah realitas yang dibentuk untuk membuat konsumen tetap berlama-lama di pasar modern.

Fakta telah mengkondisikan manusia-manusia modern untuk tampil semodern mungkin dan menjadi seorang modern adalah "kenyamanan jiwa", paradigma inil terus tumbuh dan bermutasi dalam semua aspek kehidupan manusia, dalam aspek Pendidikan berbentuk slogan "pendidikan modern", dalam Aspek ekonomi berbentuk " magnitude pasar modern dan konsumerisme". Kondisi ini merupakan Syndrom Modernitas yang telah menjadikan simbol-simbol tradisional kian terpojok dan akhirnya mati dalam penjara modernitas. Dalam konteks ini pasar modern telah membentuk manusia-manusia Postkultural, dimana Budaya yang diminati dan diekspresikan oleh pengagum pasar modern dan pada dasarnya telah melewati Budaya itu sendiri serta kosong dari makna. Sehingga Simbol-simbol Budaya yang ada di pasar modern semata wayang adalah simbol yang kosong dari makna.

Golongan Pesimisme melihat Pasar Modern adalah sebuah realitas yang mendorong terjadinya eksternalitas negative bagi kultur lokal. Dalam konteks ini pasar modern menjadikan Komoditas yang ada didalamnya sebagai "idolisasi"--pemujaan terhadap penampilan, pemunjaan terhadap style, ini adalah impuls-impuls yang didedahkan oleh pasar modern. Sedangkan solidaritas, tawar-menawar yang merupakan Social Capital dalam pasar di buang pada pasar modern.

Dalam Persfektif Ekonomi Material pasar modern adalah salah satu piranti ataupun simbol pembangunan ekonomi, dimana tenaga kerja, pajak disemaikan secara intens pada pasar modern. Namun Kalau dianalisis dengan Teori Konflik borok-borok dari pasar modern akan dapat dihidangkan. Ini berpangkal dari pertanyaan, Siapa yang mengkonstruksi?untuk apa Mengkonstruksi dan siapa yang Diuntungkan dalam siklus pasar modern?. Bertitik tolak dari teori Konflik, Dahrendorf mendeskripsikan hanya ada dua golongan dalam analisis konflik, yaitu orang yang berkuasa dan orang yang menguasai. Kalau dihubungkan dengan pasar Modern, maka orang yang berkuasa adalah pemilik Modal (pedagang), sedangkan orang yang dikuasai adalah konsumen, pedagang dalam prakteknya adalah orang yang diutungkan dari proses permainan yang dioperasionalkan pada pasar modern.

Namun berbeda dengan kasus antara kapitalis dan proletar. Kasus antara pedagang dan konsumen di pasar modern Tersublimasi dari hubungan pengkonstruksian simbol-simbol dengan penerimaan simbol tersebut sebagai sebuah kenyataan yang dikonsumsi. Sebutlah pedagang menciptakan hiburan, mendesain ruang untuk menciptakan sebuah kenyamanan di super market, inilah adalah simbol yang diproduksi dan kemudian dikonsumsi oleh konsumen. Jadi dalam konteks inilah aktualnya eksploitasi konsumen oleh pedagang terjadi--melalui penciptaan realitas yang kosong (fantasme). Pada fase berikutnya konsumen akan terasing dari dunia-nya sendiri, Budaya yang mengalir dalam darahnya perlahan-lahan akan tergantikan oleh Budaya yang dikonstruksi oleh Super Market, sebutlah Budaya Populer, konsumerisme adalah Budaya yang merampas Budaya-budaya asli para konsumen.

Beralih kepada Pasar Tradisional

Setelah memaparkan dilemma yang membatu di pasar modern, maka pertanyaan yang muncul adalah, adakah jalan untuk keluar dari dilemma tersebut? Jawaban dari pertanyaan ini bersipat Romantisasi yang muncul dari membaca dan memaknai kembali kearifan Budaya lama yang saat ini telah mengalami pergeseran makna. Disimpulkan pasar tradisional yang hari ini mulai hilang dari siklus kehidupan masyarakat modern di kota-kota besar.

Ada hal yang unik pada pasar tradisional yang tidak dimiliki dalam siklus pasar modern. Pada pasar tradisional akan ditemukan apa yang disebut dengan "jaringan-jaringan sosial", jaringan sosial dimaknai sebagai sebuah pertimbangan dalam pembentukan harga ataupun sebagai pertimbangan dalam memberikan tips oleh pedagang pada pasar tradisional yang bahan bakunya adalah Client yang terdiri dari suku, ataupun kesetian konsumen untuk tetap berlanganan.

Pada Pasar Tradisional harga dimaknai sebagai sesuatu yang fleksibel dan determinant terhadap konteks sosial antara pedagang dan konsumen. Di sisi lain pasar tradisional bisa menjadi sebuah Ekowisata dan menjadi ikon satu daerah, seperti pasar yang sampai saat ini masih menjadi penopang ekonomi Kota Solo yakni Pasar Klewer, Pasar Legi, dan Pasar Gede.

Kalau dikaji secara sosio-ekonomi, pasar tradisional adalah manifestasi dari system ekonomi rakyat. Dimana pasar tradisional dimaknai sebagai wadah bertemunya masyarakat yang memiliki Budaya yang homogen, kemudian dipertemukan oleh kepentingan ekonomi. Maka kondisi ini akan mendorong lahirnya moral ekonomi dan pola interaksi yang determinan dengan Budaya yang dipersepsikan oleh masyarakat. Disisi ekonomi material, pasar tradisional akan memberikan sumbangan APBD yang cukup siknifikan jika pasar tradisional dikemas oleh pemerintah dengan cara ekonomis. Maka Pemerintah idealnya harus berani melakukan ikonisasi pasar tradisional sebagai lalu lintas Budaya serta menjadika-Nya sebagai sosialisasi terhadap Budaya lokal. Hal ini dapat ditempuh dengan pegelaran Budaya di pasar tradisional.

Dilemma yang membatu pada pasar modern, mengharuskan pemerintah kota melakukan lompatan-lompatan untuk memberdayakan dan mengembangkan pasar tradisional sebagai gerakkan kultural Ekonomi. Maka moment "Beralih kepada Pasar Tradisional", akan menemukan momentumnya dalam kenestapaan manusia modern yang kian mabuk memaknai modernitas, jika ini tidak diamputasi pada akhirnya akan menyatu dalam kriminalisasi Budaya. Dalam kondisi ini Pasar tradisional adalah langkah konkrit untuk membangun pasar yang berbasis kultural yang selamat dari eksternalitas negative pasar■

Doktrin Agama dan Amalan Budaya

Persatuan Tarbiyah Islamiyah;

Doktrin Agama dan Amalan Budaya

Oleh: Muhammad Nasir

Mahasiswa Pascasarjana IAIN IB Padang

“Persatuan Tarbiyah Islamiyah tidak pernah mengajarkan warganya untuk mebakar kumayan ketika akan memulai do’a bersama!” tegas Buya H. Ahmad Khatib Maulana Ali (1915-1993) kepada penulis tujuh belas tahun yang lalu. Pertanyaan ini diajukan ketika penulis masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah. Lazimnya siswa madrasah negeri yang dibesarkan dari berbagai corak amalan keagamaan dan beraneka kultur organisasi keagamaan Islam semisal Tarbiyah Islamiyah, Muhammadiyah, dan sebagainya, pertanyaan seperti itu sering menjadi debat kusir antar sesama pelajar.

Pada saat itu penulis merasa resah dengan debat tidak sehat dan tuduhan yang membabi buta kepada penulis, sebagai anak dari kultur daerah yang mayoritas mengaku berafiliasi dengan Tarbiyah Islamiyah. Tarbiyah Islamiyah atau saudara organisasinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) di kampung penulis tetap disebut PERTI. Lantaran kultur itu, serta merta penulis “dituduh” oleh teman yang non PERTI sebagai anak kolot atau anak-anak kaum tua. Kuno, bid’ah, bahkan -hampir saja- sesat!. Tidak jarang guru-guru penulispun mengatakan demikian. Tetapi meskipun dituduh kolot, penulis masih sempat juga menjadi juara kelas beberapa semester.

Lalu, penulispun mengadu kepada Buya Ahmad Khatib Maulana Ali yang lebih dikenal dengan Inyiak Imam Salo. Beliau ini merupakan murid utama Inyiak Canduang dan generasi pioneer pertama dalam mengembangkan Tarbiyah Islamiyah. Inyiak Imam seterusnya menjelaskan sekilas tentang riwayat amalan agama masyarakat Minangkabau, beberapa budaya masyarakat Minangkabau yang bakulintin pintin dengan pengamalan agama, serta latarbelakang berdirinya Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Para ulama yang kelak mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah hidup dalam suasana yang demikian itu.

Namun jawaban yang sampai saat ini terus lekat di kepala penulis hingga sekarang adalah; “bialah, ndak usah dipikia bana masalah kumayan tu. Bisuak kalau urang indak manjua kumayan lai, urang Tarbiyah pasti indak mambaka kumayan lai.” Biarkan saja, tidak perlu dipersoalkan. Ada saatnya kumayan tidak dijual lagi, budaya itupun pasti hilang. Jawaban ini sungguh merupakan kearifan dan pembacaan yang cermat terhadap kebudayaan. Inyiak Imam Salo telah mengajarkan kepada penulis metode yang sering disebut orang-orang Teuton sebagai versetehen.

Batas tegas!

Persatuan Tarbiyah Islamiyah didirikan oleh para ulama Minangkabau yang menyebut dirinya Ahl al sunnah wal Jama’ah pada 5 Mei 1928 bertepatan dengan 15 Zulkaidah 1346 H. Tercatat beberapa nama yang ikut mendirikan ormas Islam ini, di antaranya; Syekh Sulaiman al Rasuli (Inyiak Canduang), Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syekh Mohd. Djamil Djaho (Inyiak Djao) Syekh Abd Wahid al Shalihi, Syekh Arifin Arsyad Batu Hampar, Syekh Ahmad Baruh Gunung, Syekh Abd Madjid Koto Nan Gadang, Syekh Djamaluddin Sicincin, Syekh Mohd. Alwi Koto Nan Ampek dan HMS Sulaiman Bulittinggi.

Syekh Ahmad Khatib Maulana Ali di Salo mencatat, kelahiran Persatuan Tarbiyah Islamiyah ini merupakan pertama, reaksi terhadap gerakan pengikut Wahabi di Minangkabau yang terlalu keras berdakwah, hingga tanpa tenggang rasa menghantam kian kemari. Kedua, untuk mempertahankan sesuatu yang dianggap benar. Lebih jauh Inyiak Imam Salo menjelaskan, apabila satu kebenaran berhadapan dengan kebenaran lainnya yang mungkin bernilai sama, maka wajibkah mengikuti sesuatu yang menurut adatnya terlihat baharu? Kalaupun harus terjadi, yang baru diterima sebagai kecendrungan zaman (trend) tanpa harus membatalkan yang lama yang bernilai sama. Ketiga, Tarbiyah Islamiyah merupakan bentuk penerimaan terhadap pola pendidikan modern. Keempat, Tarbiyah Islamiyah sebagai bentuk penolakan yang halus terhadap model ijtihad kaum muda. Kelima, untuk mempertahankan prinsip-prinsip bertaqlid kepada Imam-imam Madzhab yang dianggap berkompeten. Keenam, yang lain dari pada itu hanyalah persoalan politikdan kemasyarakatan saja. (Inyiak Imam Salo, Catatan Pribadi, 1976)

Merujuk catatan Inyiak Imam Salo tersebut, tampak jelas garis pembeda antara persoalan agama (terutama segi amaliyah), politik pemikiran, dan cara pembacaan terhadap situasi sosial pada waktu itu.

Catatan di atas memang dapat diduga sebagai tafsir baru terhadap kelahiran Persatuan Tarbiyah Islamaiyah. Catatan itu ditulis sekitar 48 tahun setelah organisasi itu berdiri. Namun keberadaan beliau sebagai generasi awal Tarbiyah Islamiyah menjadi jaminan tersendiri terhadap mutu tulisan itu. Aroma yang kentara dari catatan Inyiak Imam adalah bahwa kelahiran Tarbiyah Islamiyah tidak lepas dari dinamika politik di Minagkabau pada waktu itu, utamanya politik pemikiran.

Alasan di atas mungkin tidak jauh beda dengan paparan Taufik Abdullah dalam Schools and Politics: The kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1933. Dalam karyanya ini Taufik Abdullah menjabarkan tentang gerakan para pemuda Minangkabau pada tahun akhir tahun 1920-an hingga awal tahun 1930-an yang cendrung melakukan pembaharuan di bidang sosial politik. (Taufik Abdullah, 1971)

Berdasarkan paparan di atas, Tarbiyah Islamiyah yang dulu (1928-1932) sempat bernama Pendidikan Islam Indonesia perlu menarik garis tegas antara persoalan yang berkaitan dengan amalan budaya dan amalan agama. Hal ini perlu dilakukan agar salah pengertian terhadap Tarbiyah Islamiyah dapat direduksi.

Selama ini, warga Tarbiyah Islamiyah sangat erat dengan image qunut shubuh, talqin mayyit, zikir berjama’ah, men-jahar basmalah dalam shalat, termasuk mambaka kumayan sebagaimana disinggung di awal tulisan ini. Seolah-olah kerja orang-orang Tarbiyah Islamiyah itu ke itu saja. Artinya sangat penting mendesak memberikan penjelasan bahwa Tarbiyah Islamiyah bukanlah sebagaimana merek dagang di atas. Padahal persoalan di atas adalah wilayah yang masih bisa digaris tengah dan dibedakan antara budaya dan agama. lambat laun yang namanya budaya pasti silam (lenyap menjadi masa lalu).

Lebih penting dari merek dagang di atas, bahwa Tarbiyah Islamiyah mempunyai trade mark Pendidikan-Dakwah dan Sosial. Tiga amalan utama itu dapat lebih lanjut menukar pangana orang bayak, bahwa selain Qunut Subuh dan membaca Sayyidina, Tarbiyah Islamiyah punya brand image lebih baik, tidak kalah dari membakar kumayan.

Haqqul yaqin, kesejahteraan, kemajuan dan kejayaan umat tidak terkait langsung dengan organisasi kemasyarakatan Islam. Faktanya, warga Muhammadiyah ada yang kaya dan berpikir maju, namun ada juga yang miskin dan berpikir kolot. Warga Tarbiyah Islamiyah begitu juga. Persoalan kemajuan sangat erat kaitannya dengan kerja keras dan kemauan yang kuat untuk belajar dalam mengatasi tantangan. 79 tahun usia Tarbiyah Islamiyah, masih terlalu muda untuk berhenti. Selamat! (Padang, 26/04/2007 23:39)