teroueskan membina tabijah islamijah ini sesoai dengan peladjaran yang koe berikan(syekh sulaiman ar-rasully)

Sunday, August 13, 2006

Syekh Sulaiman ar-rasuly; membangun basis perjuangan rakyat minangkabau

(Syekh Sulaiman Ar-Rasuly) MEMBANGUN BASIS PERJUANGAN RAKYAT MINANGKABAU Oleh: Muhammad Sholihin* Syekh Sulaiman Ar-Rasuly dilahirkan di Canduang yaitu sebuah desa terletak lebih kurang 8 kilimeter sebelah timur kota Bukittinggi tepatnya di kaki gunung Merapi. Syekh Sulaiman Ar-Rasuly yang lebih populer dengan sebutan Inyiak Canduang dilahirkan dari pasangan seorang ulama yaitu Angku Muhammad Rasul dan Siti Buli’ah. Latar belakang keluarga ini secara genetif mempengaruhi jiwanya sebagai salah seorang anak ulama yang disegani masyarakat pada zamannya sehingga dari dirinya telah tampak kecerdasan spritual dan sosial yang merupakan modal bagi seorang ulama yang kharismatik. Secara histories Inyiak Canduang ini tercatat sebagai pemuda yang gigih dalam mengasah bakat keagamaan dan mata spritualnya lewat belajar dari berbagai tokoh-tokoh ulama ternama seperti belajar di pesantren Tuanghu Sami Ilmiyah di Baso kemudian belajar agama dengan Syeikh Muhammad Thaib Umar di Sungayang-Batusangkar. Dan selesai belajar dari Syeikh Muhammad Thaid Umar ini Inyiak Canduang melanjutkan belajar agama pada Syeikh Abdullah Halaban. Dan pada masa-masa pematangan religinya tepatnya pada tahun 1903, Inyiak Canduang berangkat ke tanah suci dengan misi Tafaguh Fi al-Din dengan belajar dan memperdalam ilmu agama pada Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy. Selain pada Syeikh Ahmad Khatib ini Inyiak Canduang juga berupaya memperkaya khazanah pengetahuan agamanya lewat belajar pada ulama-ulama mashur di tanah suci seperti belajar pada Syeikh Mucthar At-Tharid, Syeikh Nawawi Al-Banteny, Sayyid Umar Bajened dan Syeikh Sayid Babas El-Yamani. Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly kembali ke ranah minang pada tahun 1907 setelah memperkaya pengetahuan agama selama tiga setengah tahun di Tanah Suci. Secara histories kembalinya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly ke Ranah Minang merupakan warna tersendiri bagi dakwah Islam serta perjuangan rakyat Minangkabau dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini disebabkan tingkat perjuangan yang dilakoni oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly ini sedikit berbeda dari ulama-ulama minang yang lain seperti halnya Buya Hamka, Syeikh Inrahim Musa yang merupakan golongan ulama muda yang garis perjuangannya bersifat Deaktivasi Kolonial dengan cara membakar jiwa perlawanan rakyat terhadap kolonialisme sedangkan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly garis perjuangannya lebih bersifat developmetisasi basisi perjuangan rakyat lewat berbagai bidang kehidupan sehingga basisi yang dibangun oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly ini menjadi amunisi yang ampuh dalam megusir kolonialisme di Ranah Minang. Hal ini terbukti pada Agresi Militer Belanda I dan II ke ranah minang, dimana peran masyarakat sipil menjadi basis kekuatan dominan dalam membendung Agresi Belanda tersebut. Dalam hal ini Andrey Kahin berkomentar sebagaimana yang dikunilkannya oleh Djoeir Muhammad bahwa “laskar-laskar desa ini menjadi pasukan keamanan yang paling tangguh di daerah�. Aktualnya komentar Andrey Kahin ini menjadi indicator bahwa basis-bais masyarakat sipil telah dibangun oleh tokoh-tokoh pejuang termasuk di dalammya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly merupakan amunisi yang paling ampuh dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Sejarah perjuangan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly adalah sejarahnya mengembangkan masyarakat sipil manangkabau. Secara faktual ada beberapa basis yang dibangun oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly sehingga menjadi piranti bagi perjuangan rakyat Sumatera Barat. Perttama : Reformasi sistem pendidikan agama sebagai modal perjuangan rakyat minangkabau dalam meningkatkan sumberdaya manusia. Sistem pendidikan agama di ranah minang pada zaman sebelum datangnya Inyiak Canduang lebih bersifat klasikal dengan metode halaqah dan hanya diajarkan mampuni. Oleh sebab itu Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly tampil sebagai reformis dalam pendidikan agama dengan mengarahkan metode pendidikan agama tradisional mengajarkan berbagai ilmu-ilmu agama mulai dengan ilmu-ilmu dasar bahasa arab seperti ilmu alat (nahu, syaraf, balaqah, badi’, ilmu hadits, ilmu qur’an dan mantiq) sampai dengan ilmu-ilmu terapan seperti (tafsir, akhlak, fiqh, tauhid) dengan reference utamanya adalah kitab klasik. Siklus dari reformasi yang dilakoni oleh Inyian Canduang ini ialah terbentuknya Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI), proses berdirinya Madrasah ini didahului oleh proses musyawarah antara ulama-ulama yang mengaku dirinya sebagai penganut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang bermusyawarah di canduang pada tanggal 5 Mei 1928 dalam musyawarah ini disepakati bahwa ada reformasi sistem pendidikan agama islam dari system klasik ke system Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Diantara ulama yang menghadiri rapat ini ialah : Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly, Syeikh Ababs Al-Qadhi,dari Ladang Laweh Bukittinggi, Syeikh Ahmad dari Suliki, Syeikh Jamil Jaho dari Padang Panjang, Syeikh Abdul Wahid Ash-Shaleh dari Suliki, Syeikh Muhammad Arifin dari Batu Hampar, Syeikh Alwi dari Koto Nan Ampek Payakumbuh, Syeikh Jalaluddin dari Sicincin Pariaman, Syeikh Abdul Madjid dari Koto Nan Gadang dan HMS Sulaiman dari Bukittinggi. Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang pertama didirikan oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly adalah MTI yang ada di Canduang pada bulan Mei 1928, lantas diberi nama dengan MTI CANDUANG kemudian baru diikuti oleh MTI Jaho di Padang Panjang yang dipimpin oleh Syeikh Jamil Jaho, kemudian disusul dengan berdirinya MTI Tabek Gadang Payakumbuh oleh Syeikh abdul Wahid Shaleh. Secara genetif MTI Canduang merupakan poros dari eksistensi MTI-MTI yang tersebar di Nusantara, tercatat sampai sekarang ada sekitar 216 Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang eksis di Sumatera Barat. Langkah yang dilakukan oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly dalam mereformasi sistem pendidikan di Minangkabau merupakan pondasi bagi pengembangan basis perjuangan rakyat yang dipandang sebagai modal untuk mensupply sumberdaya manusia dalam rangka memperkuat kaum cendikia dan ulama yang mampu mengorbankan semangat rakyat dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Kedua :Formulasi partai politik sebagai manifestasi Political Power (kekuatan Politik) dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan. Pada tanggal 28 Mei 1930 Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly memperkasai berdirinya PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang berfungsi sebagai pengelola Madrasah-Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang berada di bawah naungannya. Namun disebabkan gejolak revormasi pada tahun 1946 Organisasi PERTI yang khitahnya bergerak sebagai organisasi sosial keagamaan beralih fungsi menjadi Partai Politik. Peralihan fungsi PERTI ini menjadi partai politik disebabkan argumen KH. Sirajuddin Abbas murid Inyiak Canduang bahwa “Agama Jaga Harus Memberi Arah Pada Perjuangan Politik Bangsa�. PERTI dalam sejarah perpolitikan di Indonesia mempunyai andil yang cukup besar dalam memobilisasi rakyat dalam mensukseskan misi revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Namun seiring dengan waktu, perpecahan dalam tubuh PERTI tidak dapat dihindari karena adanya perebutan kekuasaan, perpecahan ini men gecewakan pendiri PERTI khususnya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly sehingga demi menyelamatkan PERTI beliau mengeluarkan Dekrit pada Tanggal 1 Mei 1969 agar PERTI kembali kepada khittahnya sebagai organisasi yang bergerak di bidang social dan keagamaan. Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly tercatat sebagai negarawan yang mempunyai visi yang tajam tentang organisasi kemasyarakatan dalam rangka mengemban misi kemerdekaan Indonesia, karir politik Inyiak Canduang ini dimulai pada tahun 1918 hal ini terbukti dengan jabatan yang dipangkunya sebagai presiden anak cabang Serikat Islam untuk kabupaten Agam. Karir Politik Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly berlanjut pada masa pendudukan Jepang, pada masa pendudukan Jepang kedudukan partai-partai Islam terancam pupus disebabkan intrik Jepang yang berusaha melenyapkan Partai-Partai Islam yang mereka pandang sebagai basis perjuangan rakyat Minangkabau. Dan intrik Jepang ini sempat terlaksana dengan cara meleburkan partai-partai islam yang ada di Sumatera Barat, hal ini dapat kita amati dari terbentuknya Majelis Islam Tinggi Minangkabau (MTIM) pada tahun 1943, dimana Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly di serahi sebagai ketua umum dan A. Ghaffar Jambek sebagai ketua I, HMD Panglimo Kayo sebagai sekretaris umum, MR. Mahmud Yunus memimpin Dewan Pengajaran, AR. Sutan Mansur mewakili Muhammadiyah, sedangkan H. Sirajuddin Abbas mewakili PERTI. Pada zaman kemerdekaan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly sempat diserahi tugas oleh Soekarno sebagai anggota konstituante Ri, dan di tempatkan sebagai Dewan Kehormatan dengan menjadi pemimpin sidang pada sidang-sidang konstituante tersebut. Pada tahun 1947 Mr. Sotan Muhammad Rasyid, menyerahi Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly sebagai kepala Mahkamah Syar’iyah propinsi Sumatera Tengah dalam rangka mengurusi problematika syar’iyah dan sekaligus ulama yang berperan sebagai pengobar semangat perjuangan rakyat dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda. Ketiga : Mendorong terbentuknya laskar-laskar rakyat yang pada akhirnya menjadi kekuatan dominan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Peran yang dilakoni oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly tidak terbatas pada skala sosial dan agama saja, namun juga mendorong lahirnya kekuatan-kekuatan pra-militer yang berfungsi sebagai laskar yang menjaga dan mengawal daerah dimana mereka bertugas. Dalam hal sejarah mencatat peran Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly dalam hal ini berawal ketika Jepang mengusulkan dan berdiskusi dengan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly agar dibentuk laskar-laskar rakyat yang aktualnya Jepang ingin mengambil manfaat sebagai tambahan kekuatan militer dalam rangka menghadapi perang Asia Raya. Terlepas dari itu upaya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly dalam membentuk laskar-laskar rakyat membawa dampak positif yang cukup besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari pendudukan Belanda kembali (Agresi Militer Belanda I dan II) Menyingkapi ususlan Jepang di atas Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly membentuk laskar rakyat Sumatera Barat dan kemudian diusulkan terbentuknya laskar muslim oleh PERTI, Hisbullah oleh Muhammadiyah, Barisan Sabilillah oleh MITM dan disusul dengan terbentuknya GPII, setelah Jepang kalah. Prediksi Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly tentang manfaat pembentukan laskar-laskar rakyat ternukti sebagai kekuatan utama yangmembela kemerdekaan Indonesia, hal ini disebabkan karena kemampuan militer yang di dapat dari Jepang menjadi amunisi tersendiri bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly wafat pada tanggal 1 Agustus 1970, wafatnya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly meningkalkan luka yang dalam bagi rakyat Indonesia, karena hilangnya salah seorang pejuang kemerdekaan dan ulama yang kharismatik dari roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian sebagai pejuang dan ulama besar yang memiliki kepribadian yang luhur, garis perjuangannya serta amalannya bagi nusa dan bangsa patut dijadikan teladan bagi generasi muda saat ini. Jasa Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly sebagai perintis kemerdekaan dan pengemban agama Islam tidak akan ternilai hanya dengan penghargaan Oranye Van Nassau dari pemerintahan Belanda, serta menobatkan beliau sebagai pahlawan perintis kemerdekaan dan dianugerahi tanda penghargaan sebagai ulama pendidik. Namun yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah dan semua komponen rakyat mengintegrasikan nilai-nilai perjuangan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuly dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. * Penulis adalah Mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang

Sunday, August 06, 2006

pahlawan mazhab syafi'i

Artikel 2: “SYEIKH SULAIMAN AR-RASULI� Pahlawan Mazhab Syafie Oleh: Mohd. Shaghir Abdullah AKHIR-akhir ini, baik dalam percakapan mahupun dalam siaran akhbar, banyak dibicarakan tentang Wahabi. Sebenarnya kadang-kadang orang yang menggunakan istilah tersebut ataupun mereka yang menulis mengenainya sendiri tidak mengerti apa yang mereka perkatakan. Ketika pertama kali perkara 'khilafiyah' melanda dunia Melayu, terutama di Jawa dan Sumatera pada 1912 dan hangat dibicarakan tahun 1930-an, istilah Wahabi belum begitu popular. Yang popular ialah istilah 'Kaum Muda'. Kaum Muda sangat kontroversi dengan 'Kaum Tua'. Yang dimaksudkan dengan istilah 'Kaum Muda' ialah golongan yang terpengaruh dengan pemikiran Syeikh Muhammad Abduh dan muridnya, Sayid Rasyid Ridha, kedua-duanya pemikir Islam terkenal di Mesir. Istilah 'Kaum Muda' disebut juga dengan istilah 'Tajdid' (pembaharuan) atau juga istilah 'Reformis'. Dalam konteks ketiga-tiga istilah tersebutlah, muncul apa yang akhir-akhir ini diistilahkan orang dengan Wahabi atau Wahabiyah. Istilah tersebut digunakan oleh orang yang tidak menyukai mereka, namun golongan yang dipanggil Wahabi itu lebih suka kepada istilah 'Salafi' atau 'Salaf'. Istilah 'Salafi' banyak dibicarakan di Indonesia, dan belum begitu dikenali di Malaysia dan Patani. Istilah 'Kaum Tua' adalah golongan ulama yang tetap mengikut salah satu mazhab yang empat dalam fiqh. Dalam konteks dunia Melayu ialah Mazhab Syafie. Dalam akidah pula ialah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berpedomankan dua orang imam iaitu Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Dalam tasawuf Kaum Tua berimamkan Syeikh Junaid al-Baghdadi. Tokoh yang diriwayatkan dalam rencana kali ini adalah seorang ulama besar Indonesia yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Beliau adalah golongan Kaum Tua yang sangat gigih mempertahankan Mazhab Syafie. Nama beliau ialah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minankabawi, lahir di Candung, Sumatera Barat, 1287 H/1871 M, wafat pada hari Sabtu, 29 Jumadilawal 1390 H/1 Ogos 1970 M. Pendidikan Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minankabawi adalah di Mekah. Ulama Malaysia yang seangkatan dengan beliau dan sama-sama belajar di Mekah di antaranya ialah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M - 1339 H/1921 M), Tok Kenali (1287 H/1871 M - 1352 H/1933 M) dan ramai lagi. Yang berasal dari Indonesia pula di antaranya ialah Kiyai Haji Hasyim Asy'ari, Jawa Timur (1287 H/1871 M - 1366 H/1947 M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatera Utara (wafat 1355 H/1936 M), Syeikh Khathib Ali al-Minankabawi, Syeikh Muhammad Zain Simabur al-Minankabawi (bersara menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun 1955 dan wafat di Pariaman pada 1957), Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minankabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minankabawi dan ramai lagi. Ketika tinggal di Mekah, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minankabawi selain belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minankabawi, beliau juga mendalami ilmu-ilmu daripada ulama Kelantan dan Patani. Antaranya, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani dan Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani. Perjuangan Jalan cerita Syeikh Sulaiman ar-Rasuli kembali ke Minangkabau sama dengan kisah kepulangan sahabatnya Tok Kenali ke Kelantan, iaitu setelah kewafatan Syeikh Ahmad al-Fathani (11 Zulhijjah 1325 H/14 Januari 1908 M). Tok Kenali sesampainya di Kelantan langsung memulakan penyebaran ilmunya melalui sistem pendidikan pondok yang dinamakan 'Jam'iyah al-'Ashriyah' (nama ini adalah maklumat terkini yang saya peroleh melalui telefon daripada Zaidi Hasan di Kota Bharu, Kelantan). Demikian juga dengan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli. Sesampainya beliau di Bukit Tinggi, Sumatera, beliau mula mengajar menurut sistem pondok. Walau bagaimanapun, pengajian sistem pondok secara halaqah iaitu bersila di lantai dalam pendidikan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli berubah menjadi sistem persekolahan duduk di bangku pada 1928, namun kitab-kitab yang diajar tidak pernah diubah. Pada tahun 1928 itu juga, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli bersama sahabat-sahabatnya Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho mengasaskan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Kemudian persatuan tersebut menjadi sebuah parti politik yang mempunyai singkatan nama PERTI. Baik dalam sistem pendidikan mahupun perjuangan dalam parti politik, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan kawan-kawannya secara tegas dan berani mempertahankan dan berpegang dengan satu mazhab, iaitu Mazhab Syafie. Ini bererti PERTI agak berbeza dengan Nahdhatul Ulama (NU) yang diasaskan oleh Kiyai Haji Hasyim Asy'ari dan kawan-kawan di Jawa Timur. Dasar Nahdhatul Ulama (NU) adalah berpegang pada salah satu mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafie dan Hanbali). Ia tidak menegaskan mesti berpegang pada Mazhab Syafie seperti PERTI.Kiyai Haji Sirajuddin Abbas dalam bukunya, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafie, menulis, "Beliau seorang ulama besar yang tidak menerima faham Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha." (Lihat cetakan kedua, Aman Press, 1985, hlm. 298.) Di antara ulama Minangkabau yang gigih menyokong pemikiran kedua-dua ulama Mesir itu ialah Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan Syeikh Thahir Jalaluddin al-Azhari. Ini bermakna, kedua-dua ulama yang sama-sama berasal dari Minangkabau dan semuanya seperguruan itu adalah musuh polemik Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan ulama-ulama dalam PERTI lainnya. Prof. Dr. Hamka dalam bukunya yang berjudul Ayahku menulis, "Cuma beliau (maksudnya Dr. Haji Abdul Karim Amrullah) berselisih dalam satu perkara, iaitu Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mempertahankan Thariqat Naqsyabandiyah, dan salah seorang di antara Syeikhnya (mungkin maksudnya Syeikh Saad Mungka, musuh polemik Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau, pen:), sedangkan pihak Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan Syeikh Jambek tidak suka kepada tarekat itu." Demikian juga dalam hal puasa dengan hisab. Syeikh Sulaiman ar-Rasuli lebih menyetujui rukyah. Pernah beliau berkata, "Bagaimana tuan-tuan Kaum Muda! Kata tuan hendak kembali kepada sunah, tetapi dalam hal puasa yang nyata-nyata diperintahkan rukyah, tuan-tuan kembali mengemukakan ijtihad." (Lihat cetakan ketiga, Djajamurni, Jakarta, 1963, hlm. 247.) Pertikaian pendapat yang disebut oleh Buya Hamka antara beliau (Dr. Haji Abdul Karim Amrullah) dengan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli berdasarkan petikan tulisan di atas tidak banyak. Sebenarnya pertikaian pendapat antara 'Kaum Tua' dengan 'Kaum Muda' pada peringkat awal sangat banyak. Sekurang-kurangnya ada 19 perkara. Contohnya perkara 'muqaranah niat sembahyang' dan 'menjiharkan lafaz niat', Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan semua ulama Kaum Tua mewajibkan 'muqaranah niat sembahyang' dan 'menjiharkan lafaz niat' adalah sunat. Berdasarkan sepakat semua ulama, 'zakat fitrah' wajib dibayar dengan makanan yang mengenyangkan. Tidak sah dibayar dengan nilai berupa wang. Perkara ini tetap dipertahankan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, semua ulama dalam PERTI, di samping ulama dalam Nahdhatul Ulama (NU), dan semua ulama di seluruh dunia Islam yang masih tetap berpegang teguh kepada Mazhab Syafie. Perdebatan mengenai zakat gaji atau zakat pendapatan tidak pernah muncul pada zaman Syeikh Sulaiman ar-Rasuli kerana ia baru muncul pada awal 1990-an, bertitik mula daripada pendapat Syeikh Yusuf al- Qardhawi. Mengenai sembahyang tarawih dalam bulan Ramadan, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan Kaum Tua mempertahankan 20 rakaat atau 23 rakaat dengan witir. Kaum Muda mengerjakan tarawih 8 rakaat atau 11 dengan witir. Sungguhpun ramai orang melemparkan segala yang dipertikaikan adalah berasal daripada golongan yang mereka namakan Wahabi, ternyata di Masjid al-Haram, Mekah, sembahyang tarawih dan witir juga dilakukan 23 rakaat, bukan 11 rakaat tarawih dengan witir. Bahkan Syeikh Abdul Aziz Abdullah Baz (ulama kerajaan Arab Saudi) dalam menjawab perkara tersebut berfatwa bahawa sembahyang tarawih dan witir 23 rakaat adalah sepakat para sahabat Nabi Muhammd s.a.w.. Terlalu banyak perkara khilafiyah untuk dibicarakan, rasanya contoh ini sudah cukup memadai. Kenyataan Buya Hamka yang menyebut bahawa "Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mempertahankan Thariqat Naqsyabandiyah, dan salah seorang di antara Syeikhnya" memang benar, tetapi dalam satu riwayat lain, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli membantah Thariqat Naqsyabandiyah yang diperkenalkan oleh Dr. Syeikh Jalaluddin. Bantahan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli tersebut dituangkan dalam Tabligh al-Amanat fi Izalah al-Munkarat wa asy-Syubuhat, bertarikh 19 Jumadilakhir 1373 H pada 23 Januari 1954 M. Buku ini dicetak oleh Mathba'ah Nusantara, Bukit Tinggi pada 1373 H/1954 M. Pengaruh Pada tahun 1950-an Indonesia pernah mengadakan pilihan raya membentuk sebuah badan atau lembaga yang dinamakan 'Konstituante'. Tujuan Konstituante ialah untuk menentukan Indonesia sama ada membentuk negara Islam ataupun negara nasional. Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, salah seorang anggota Konstituante dari PERTI, telah dilantik mengetuai sidang pertama badan itu. Konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekri Presiden 5 Julai 1959. Jadi Indonesia sebagai negara nasional bukan ditentukan oleh Sidang Konstituante tetapi ditentukan oleh Presiden Soekarno. Beberapa orang ahli sejarah telah mencatatkan bahawa Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah memang seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan dan lawan. Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang menziarahi beliau. Demikian juga pemimpin-pemimpin setelah kemerdekaan Indonesia. Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah berkuasa memang sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli. Pada hari pengkebumian beliau, dianggarkan 30,000 orang hadir termasuk ramai pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia. Pandangan Paparan mengenai khilafiyah yang saya sentuh dalam artikel ini tiada bermaksud untuk berpihak kepada sesuatu pihak. Kita yang hidup pada zaman sekarang sewajarnya cukup matang untuk membuat penilaian. Pertikaian pendapat (khilafiyah) jika ditinjau dari satu segi, adalah merugikan umat Islam kerana ia boleh mengakibatkan permusuhan sesama Islam yang dilarang oleh agama Islam itu sendiri. Ditinjau dari segi yang lain, ia mungkin menguntungkan kerana dengan adanya khilafiyah bererti mencambuk mereka yang rajin membuat penelitian. Orang-orang yang jujur dalam penilaian ilmu, yang berdepan dengan khilafiyah, mestilah rajin membaca banyak kitab dan buku berbagai-bagai ilmu. Orang yang mempunyai ilmu yang pelbagai dan banyak pengalaman akan adil dalam penilaian, tetapi orang yang mempunyai ilmu sejenis dan kurang pengalaman akan sukar untuk berlaku adil dalam segala persoalan. "Manusia yang rugi hidupnya ialah manusia yang dikurniakan akal, tetapi tidak mahu berfikir mengenai kebesaran Allah. Dikurniakan penglihatan, tetapi tidak mahu melihat kebaikan. Dikurniakan pendengaran, tetapi tidak mahu mendengar nasihat dan dikurniakan hati tetapi tidak mahu menghayati kebesaran Allah." Tulisan ini merupakan sebuah saduran dari : ulama.blogspot.com/2005/03/syeikh-ahmad-khatib-al-minankabawi.html - 24k

dari surau ke konseptual

SELAMAT DAN SUKSES ATAS TERLANTIKNYA PERSONALIA BARU PENGURUS BESAR ASSOSIASI MAHASISWA AR-RASULY SUMATERA BARAT PERIODE 2006/2006 Dibawah kepemimpinan: Bahrul Anwar Ketua Muhammad Sholihin Sekretaris “Semoga Allah swt memberikan kekuatan lahir dan bathin dalam mengembang misi maulana syekh sulaiman ar-rasuly� Visi Transformasi Nilai-Nilai Tarbiyah Islamiyah Menuju Generasi Mujtahid Yang Berpegang Pada Mazhab Syafi’i Dan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah Misi strategis: · Revitalisasi program berbasis ijtihadiyah · Optimalisasi potensi kader-kader dalam penguatan basis sosio-religius umat · Ihtimamiyah landasan perjuangan syekh maulana sulaiman ar-rasuly Risalah!!: Pembaca Yang Merasa Seperjuangan dengan AMR, Kami Meminta Partisipasi Saudara-Saudari Dalam Mengemban Misi Umat Ini. Baik melalui opini artikel ilmiah dll, dapat di emailkan ke: mshoy84@yahoo.com atau kirim ke alamat : PADANG JL. M Yunus NO.50 RT 02/ RW III- Sumatera Barat, Post Code : 25151

GENERASI INYIAK CANDUANG BANGKITLAH!

PENGURUS PB ASSOSIASI MAHASISWA AR-RASULY MENGHIMBAU KEPADA KAWAN MAHASISWA UNTUK MELAKUKAN GERAKAN BERSAMA GUNA !!MEWUJUDKAN EKSISTENSI GERAKAN KEAGAMAAN YANG TELAH DIBANGUN OLEH MAULANA KITA SYEKH SULAIMAN AR-RASULY: DALAM HAL INI PRESIDIUM AMR SUMBAR MEMFORMULASIKAN KEDUA POLA PERGERAKAN :
  1. GERAKAN INTELEKTUAL SEBAGAI BASIS TRANSFORMASI IJTIHAD INYIAK CANDUANG
  2. GERAKAN POLITIK SEBAGAI BASIS MEMBANGUN EKSISTENSI ALUMNI CANDUNG DALAM MENGOLAH INFORMASI DAN SUHU PERPOLITIK LEWAT JALUR-JALUR FORAML DI KAMPUS MAUPUN DI LUAR KAMPUS!!

SEBAGAI KENISCAYAAN KAMI MENGHIMBAU KEPADA SANAK-SANAK DIMANAPUN YANG SEMPAT MEMBACA BLOG INI AGAR!! MENGIRIM TULISAN KEPADA EMAIL : MSHOY84@YAHOO.COM

artikel:
(Pergulatan Ulama Tua dan Ulama Muda) BELAJAR MENGELOLA PERBEDAAN DARI ULAMA-ULAMA MINANGKABAU Oleh: Muhammad Sholihin
( sekretaris PB AMR sumatera barat)
Minangkabau dalam rentetan sejarah merupakan salah satu ranah yang mashur dengan gerakan politik dan pemikiran, sebagaimana yang diungkapkan oleh Djoier Muhammad dalam bukunya Memoar seorang Sosialis dimana “Gerakan Orang Minang Dalam sejarah Populer Dengan Gerakan Politik dan Keagamaan�, pendapat Djoier Muhammad ini aktualnya mengimplikasikan pentingnya revitalisasi sprite pergerakan di Ranah Minang sekarang dan pada masa depan dengan mengambil bentuk kedalaman kedua pola ini (gerakan politik dan keagamaan). Hal ini penting mengingat aktualisasi visi nagari “kembali ke surau�, telah menjadi sebuah keniscayaan, demi terwujudnya eksistensi tokoh-tokoh Minangkabau di kancah politik dan keagamaan baik level local maupun nasional. Disamping itu hal yang juga penting diwujudkan adalah mengadopsi prinsip mengelola perbedaan pendapat yang dipraktekkan oleh ulama-ulama Minang pada fase-fase sejarah pergerakan di masa silam dan sekaligus dijadikan sebagai sebuah inspirasi bagi ulama-ulama di Sumatera Barat sekarang dalam menyikapi dinamika keagamaan dan pilitik yang berkembang akhir-akhir ini. Dalam gerakan keagamaan ranah minang mempunyai khazanah yang tersendiri yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Khazanah ini dinilai sebagai sebuah dinamika gerakan keagamaan di ranah minang, khazanah dapat diterusuri dari tahun 1803 yang merupakan genetif dari gerakan kaum Paderi dan pada tahun 1916 merupakan pergulatan keagamaan antara ulama tua dan ulama muda. Pergerakan keagamaan di minangkabau pada fase-fase sejarah mesintesiskan pola-pola yang berbeda, seperti pada pola pergerakan kaum Paderi yang cendrung lebih ekstrim, hal ini disebabkan oleh karaktek tokoh-tokoh yang memotori pergerakan kaum Paderi cendrung Non-kooperatif, sehingga perang saudara antara kaum paderi dan adat tidak dapat dihindari, dalam hal ini Schrike menyatakan “gerakan paderi ini merupakan revolusi pemimpin agama yang kecewa di dalam masyarakat yang tidak memberinya tempat dan hirarki social�. Sedangkan karakter gerakan pada fase pergulatan antara ulama tua dan ulama muda sudah mengarah pada gerakan yang akomodatif, hal ini disebabkan pergulatan yang terjadi lebih mendekati gerakan yang bersifat elaborasi terhadap pemikiran keagamaan dan mengarah pada gerakan pengembangan pemahaman masyarakat muslim di Minangkabau. Namun demikian pada fase pergulatan antara ulama mudan dan ulama tua bukan berarti terhindar dari suasana tegang di dalam tubuh kedua kubu ini. Akan tetapi ketegangan yang terjadi antara kedua kubu ini ada sisi lain yang menarik untuk dikaji ulang yaitu prilaku tokoh pergerakan dalammengelola perbedaan pendapat, sehingga tipikal gerakan yang mereka lakukan concern pada serangan pemikiran (Ghazwul Fikr). Secara garis besar tokoh-tokoh kedua tokoh ini dapat di identifikasi sebagai berikut: kubu ulama muda terkabung di dalamnya Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul Karim Amrullah Dan Haji Abdul Ahmad, Serta Syekh Ibrahim Musa. Mereka ini merupakan murid dari Syekh Ahmad Khatib, sedangkan di kubu tua terkabung di dalamnya yaitu Syekh Sulaiman Ar-Rasuly, Syekh Jamil Jaho, Syekh Ahmad Khatib Padang Lawas. Dari dil gerakan kedua ini dapat dipahami bahwa kubu ulama muda terdiri dari ulama-ulama yang konservatife, dalam prakteknya kelompok ini mempunyai view oriented dan terpengaruh oleh konsep-konsep pembaharuan dari luar. Sebaliknya ulama tua lebih cendrung berpegang pada metode tradisional dan klasik, sehingga ulama tua ini dalam praksis gerakannya masih menfitalkan fungsi surau sebagai central dalam pengembangan agama Islam dan masyarakat Islam di Minangkabau. Embrio pertentangan ulama muda dan ulama tua di Minangkabau ini terakumulasi dari sebuah basis gerakan keagamaan yang dianut oleh masing-masing kubu ini. Ulama muda misalnya dalam memandang agama islam, ulama ini berpikir bahwa agama mesti dipisahkan dari pengaruh adat dan budaya atau menjaga keorisinilan agama islam lewat gerakan penghapusan sinkritisme dalam praktek keagamaan. Dan agama bagi mereka cendrung dipahami absolute dan sesuai dengan informasi literasi. Sehingga dari ideology ini mereka melakukan serangan yang sangat gencar terhadap ritus-ritus yang di amalkan oleh agama tua, seperti gerakan yang dipelopori oleh maestro ulama muda H. Abdul Karim Amrullah (Hamka) yang akan membrendel praktek Tareket Naksyahbandiyah, sebab dalam pandangan beliau tarekat ini tidak berdasarkan tradisi (Sunnah). Sedangkan Tafhim (pemahaman) ulama tua terhadap konsepsi agama islam lebih bersifat Inklusif dan dalam prakteknya cendrung lebih terbuka dalam menginterpretasikan dogma-dogma agama lewat metode yang lebih kopherensif, seperti menggunakan metode qiyas dalam menginstinbatkan hukum islam dan mempraktekkan ritus-ritus tarekat yang pernah dijalankan (tarekat Nakhsahbandiyah) oleh sahabat. Dan dalam hal menjalankan ritus-ritus agama, ulama tua ini lebih bersifat ketat sehingga sikap inilah yang menimbulkan kesan bahwa ulama tua agak sedikit orthodox. Pertentangan antara ulama muda dan ulama tua meletus pada tahun 1916 dan bersiklus pada ketegangan kondisi social. Namun dari situasi yang tegang ini tidak sampai memicu terjadinya konflik horizontal antara pendukung di masing-masing kubu. Hal ini aktualnya disebabkan oleh sikap arif yang dimiliki oleh masing-masing ulama yang berstatus sebagai mobolisator pada kedua kubu tersebut dalam menyingkapi kedua ini. Hal yang sangat mengesankan dari fenomena pertentangan ulama muda dann ulama tua ini adalah sikap mau menerima perbedaan sebagai sesuatu alamiyah yang terhujam di dalam diri ulama yang ada dikedua kubu tersebut. Hal ini teridentifikasi dari perilaku syekh ibrahim musa (ulama muda) dan sikap sulaiman ar-rasuly (Ulama tua) yang mau melakukan dakwah secara bersama-sama sebagai gerakan spontan untuk meredakan gerakan spontan yang terjadi. Sikap arif dalam menyingkapi perbedaan di segi memahami konsepsi keagamaan juga diperlihatkan oleh h.abdul karim amrullah dengan cara melayat ketika syekh sulaiman ar-rasuly wafat. Dari fenomena pertentangan ulama tua dan ulama muda ada beberapa prinsip yang dijalankan oleh ulama-ulama dikedua kubu ini dalam menyingkapi perbedaan persepsi keagamaan. Pertama: memandang perbedaan sebagai sunnatullah yang tidak dapat dihindari. Dalam hal ini dibutuhkan sebuah integritas dalam menyingkapi perbedaan agar tidak terjerumus dalam konflik horizontal yang akan merusak tatana social. Kedua: opensif terhadap perbedaan konsepsi keagamaan. Sikap yang kedua ini prinsipilnya berawal dari objektifitas dalam menilai pendapat ulama lain, seperti halnya yang dilakukan oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuly dan Syekh Ibrahim Musa. Ketiga: mendahulukan stabilitas social dalam mengelola sebuah konflik, sikap ini dapat kita pelajari dari prinsip ulama muda dan ulama tua dalam menghindari konflik horizontal yang disebabkan perbedaan memahami dogma agama. Keempat: memelihara sikap autokritik konstuktif terhadap pemikiran ulama lain, agar maqhasyid syari’ah dapat ditangkap lewat dinamika yang tercipta lewat proses saling mengkritisi dan memahami pendapat kelompok lain. Prinsip ini dapat dipahami dari sikap buya Hamka ketika mengkritk ritus-ritus yang dipraktekkan oleh ulama tua. Keempat prinsip yang diuraikan ini merupakan amunisi yang harus di adobsi oleh ulama-ulama di minangkabau pada zaman modern ini, agar sikap yang lahir dari atmosfer perbedaan dalam memahami agama tidak memicu chaos. Dan hikmah dibalik aktualisasi prinsip ini adalah sebuah harapan akan datangnya rahmat Allah SWT yang berawal dari perbedaan perspektif keagamaan. Dan siklus pada dinamika yang sehat dalam hal memahami ajaran-ajaran agama. Allahu A’Lamu Bis-Shawab.